Ad-Dakhil Bukan Sekedar Nama


Oleh : Abdul Muhaimin

Abdurrahman Wahid Ad-Dakhil atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur merupakan putra dari tokoh nasionalis sekaligus menteri agama pada era Soekarno, yaitu Wahid Hasyim. Sebutan gus tidak lain merupakan panggilan khas warga pesantren untuk seorang putra dari kiai. Gus Dur dilahirkan di lingkungan pesantren di Denanyar Jombang-Jawa Timur, di rumah pesantren milik kakeknya, kiai Bisri Syansuri.

Dalam biografi Gus Dur yang ditulis oleh Greg Barton disebutkan bahwa Gus Dur selalu merayakan hari ulang tahunnya pada tanggal 4 Agustus. Gus Dur memang lahir pada bulan sya’ban atau bulan ke delapan berdasarkan perhitungan tahun hijriyah. Bulan ke delapan inilah yang kemudian banyak diartikan berdasarkan penanggalan umum yang tepatnya pada bulan agustus. Namun yang sebenarnya, Gus Dur lahir pada tanggal 4 bulan sya’ban tahun 1940. Jika dihitung dalam perhitungan masehi, maka Gus Dur lahir tepat pada tanggal 7 September 1940, bukan pada tanggal 4 Agustus 1940.

Gus Dur merupakan sosok yang dikenal dengan ke-intelektualannya dalam berpikir dan bertindak. Namun siapa sangka, dalam proses menempuh pendidikannya, Gus Dur pernah mengalami gagal dalam ujian, sehingga hal tersebut menyebabkan ia harus mengulang kelas. Kegagalan tersebut terjadi sekitar tahun 1954, pada saat menempuh sekolah menengah ekonomi pertama (SMEP).

Salah satu faktor kegagalan Gus ad-Dakhil dalam ujian disebabkan pengaruh dari penyaluran hobi-hobinya, seperti sepak bola, menonton film hingga hobi yang tidak bisa dihentikan dalam melahap buku-buku. Namun akhirnya, Gus Dur pun banyak mengenyam pendidikan dalam dunia pesantren dan berpindah–pindah pesantren di Yogyakarta hingga di kota kelahirannya Jombang. Hal ini tidak lain karena kehausannya akan ilmu pengetahuan, baik agama maupun umum.

Kisah tentang kegagalan Gus Dur dalam pendidikan ternyata terulang kembali ketika ia mendapatkan beasiswa untuk studi di Universitas Al-Azhar Mesir. Hal tersebut terjadi karena kekecewaan Gus Dur terhadap sistem pendidikan yang ada saat itu, sehingga ia lebih banyak memilih untuk benyak berkunjung dalam diskusi-diskusi di warung kopi maupun membaca secara langsung melalui buku-buku di perpustakaan. Selain faktor-faktor tersebut, penyebab lain karena ketidak-cocokan terhadap sistem pembelajaran dengan metode hafalan. Bagi Gus kelahiran Jombang ini, pembelajaran dengan metode tersebut dianggap kurang menantang di mata Gus Dur, dan lagi-lagi hal itu justru menyebabkan kegagalannya pula dalam ujian. Hingga pada akhirnya, ia pindah dan mendapatkan beasiswa di Baghdad yang ditempuhnya hingga lulus.

Keinginan Gus ad-Dakhil untuk melanjutkan pendidikan di Eropa, akhirnya terhenti karena bukti pendidikan yang ditempuhnya di Baghdad tidak diakui di Eropa. Dengan demikian, ia memilih untuk pulang ke Indonesia. Di sisi lain, penyebab ia kembali ke tanah air tidak lain karena ia melihat kondisi perkembangan islam yang semakin memprihatinkan. Kondisi demikian diketahuinya karena bekerja di lingkungan kedutaan Indonesia, sehingga secara tidak langsung, secara rinci mengamati kondisi yang ada di Indonesia. Oleh karenanya ia kembali ke Indonesia dan menunda melanjutkan pendidikannya di Kannada.

Selain dikenal dengan sisi ke-intelektualannya, Gus Dur juga memiliki karir politik yang luar biasa melejit. Bahkan sebagian orang mengungkapkan bahwa Gus Dur adalah sosok politikus ulung milik Indonesia selain Soeharto. Sehingga, setelah menjadi ketua umum Pengurus Besar Nadhatul Ulama (PBNU), Gus Dur secara resmi terpilih menjadi presiden Indonesia pada bulan Oktober tahun 1999. Gus Dur merupakan presiden pertama yang terpilih secara demokrasi setelah runtuhnya masa Orde Baru yang terjadi saat Reformasi ‘98 yang menyebabkan mundurnya presiden Soeharto dan digantikan oleh B.J Habibi. Karir politik Gus Dur tidak semata-mata bisa dilepaskan dari tokoh sentral yang berpengaruh dalam kehidupan Gus Dur, yaitu ayahnya Wahid Hasyim, yang juga merupakah tokoh penting pada eranya.

Wahid Hasyim merupakan tokoh nasionalis dari kalangan pesantren. Selain sebagai tokoh nasionalis Indonesia pada masa itu, Wahid Hasyim juga merupakan tokoh ilmuwan muslim yang ada di Indonesia. Melalui ke-intelektualan yang dimilikinya, membuat perannya dalam pemerintahan sangat diperhitungkan. Sehingga dalam karirnya sebagai menteri agama Indonesia, ia mampu bertahan hingga lima pergantian kabinet pada saat itu.

Ketokohan Wahid Hasyim pun tampak nyata, bahkan hingga di saat-saat terakhirnya bersama Gus Dur. Ketika beliau meninggal, iring-iringan jenazah Wahid Hasyim dalam perjalanan menuju kota Jombang untuk dimakamkan, disambut banyak orang yang menunggu di tepi jalan. Penyambutan ini tidak lain untuk memberikan penghormatan terakhir pada salah satu tokoh yang sangat berpengaruh untuk Indonesia. Bahkan dalam biografi Gus Dur yang ditulis oleh Greg Barton disebutkan, bahwa saat itu Gus Dur pun berpikir “apa yang diperbuat oleh seseorang sehingga rakyat begitu mencintainya,?” dan apakah ada prestasi yang lebih baik daripada hal itu?”. Sehingga kenangan terakhir tentang ayahnya pun sangat menyentuh hati Gus Dur dan tidak akan dilupakannya.

Saat menjabat sebagai presiden, Gus Dur merupakan presiden pertama yang berasal dari keluarga pesantren atau kiai. Bahkan pada awal pencalonan, Gus Dur sebagai presiden tidak diunggulkan. Sehingga terpilihnya Gus Dur menjadi presiden Indonesia pada tanggal 20 Oktober 1999 merupakan suatu kejutan bagi banyak orang. Selain muncul optimisme yang besar dengan gaya kepemimpinan Gus Dur, pada sisi yang lain juga memunculkan banyak keraguan dari berbagai pihak. Terlebih jika melihat kondisi fisik yang nampak lemah dan rapuh. Hingga pada akhirnya, Gus Dur pun dijatuhkan dari posisi presiden Indonesia oleh kelompok yang sama, yaitu kelompok yang dahulu mendukungnya saat pencalonan presiden tahun 1999 dan Gus Dur resmi berhenti dari jabatan presiden pada tahun 2001.

Jika mengingat sosok Gus Dur atau presiden keempat Indonesia ini, tentunya kita semua akan ingat akan jasa-jasanya dalam memberikan pelajaran hidup bagi kita semua. Misalnya, ketika menjadi presiden, Gus Dur secara resmi menjadikan agama Konghucu menjadi salah satu agama resmi yang ada di Indonesia. Gus Dur mencabut Peraturan Pemerintah (PP) nomor 14 tahun 1967 yang melarang kegiatan kaum Tionghoa dan menetapkan hari raya Imlek sebagai hari libur nasional. Melalui jasanya yang begitu besar terhadap salah satu kaum yang dianggap minoritas di Indonesia ini, Gus Dur dikenal sebagai tokoh Pluralis yang dimiliki bangsa ini. Bahkan sebelum meninggal, Gus Dur pernah berpesan “Saya ingin di kuburan saya ada tulisan: Di sinilah dikubur seorang Pluralis” (KOMPAS, 3/1/2010).

Sedangkan jika kita membahas sebuah nama, ternyata nama Ad-Dakhil yang diberikan ayahnya bukanlah sekedar nama. Ad-Dakhil yang berarti Sang Penakluk ternyata nampak pula di kehidupan Gus Dur yang begitu gagah dan pemberani. Ad-Dakhil sendiri merupakan tokoh muslim pada masa Bani Ummayyah yang berhasil membawa masa kejayaan Islam di tanah Spanyol. Sifat Ad-Dakhil atau Sang Penakluk yang nampak pada Gus Dur adalah dengan begitu beraninya ia pasang badan membela kaum yang dianggap minoritas dan mendapatkan perlakuan diskriminasi oleh lingkungannya.

Sebagai contoh, salah satu persoalan yang dialami oleh kaum Tionghoa yang pernah dilarang untuk melaksanakan aktivitas keagamaannya. Kemudian semua permasalahan itu dihapuskan oleh Gus Dur dengan menjadikan Konghucu sebagai agama resmi dan diakui negara. Hal tersebut disambut baik oleh kaum Tionghoa, sehingga jasa Gus Dur begitu dikenang oleh seluruh warga Indonesia, khususnya kaum Tionghoa. Contoh lainnya, Gus Dur dengan gagah pasang badan membela jamaah Ahmadiyah yang nyata-nyata mendapatkan perlakuan tidak baik oleh kelompok lain.

Demikian sosok Gus Dur yang bisa kita kenang dan kita jadikan teladan hingga sekarang. Hal tersebut tentunya harus diperjuangkan pula oleh generasi muda saat ini. Sikap pluralisme yang dicontohkan oleh Gus Dur sudah selayaknya kita renungkan dan pahami agar kita tidak hanya berlabel plural dalam menjalankannya, tetapi lebih dari itu kita semua mampu memberikan manfaat dari sikap plural tersebut. Seperti halnya pendapat Gus Dur yang menyatakan bahwa keberagaman atau perbedaan adalah rahmat dari Tuhan. Sehingga rahmat tersebut sudah semestinya mampu kita terima dengan baik dan bisa memberikan manfaat bagi kehidupan kita.

"Selamat jalan Gus, banyak yang merindukanmu. Sudah sewindu ini kau meninggalkan kami semua dengan segala pelajaran yang pernah kau tunjukkan di masa lalu. Semoga kita semua mampu mengambil hikmah dari semua pelajaran tersebut. Jika pluralisme akan mengalami tantangan berat sepeninggalmu, maka pluralisme pula diyakini akan tetap lestari di tanah ini. Begitulah judul salah satu bab tulisan dari buku Damai Bersama Gus Dur, semua itu menunjukkan bahwa selama kita semua sadar akan apa yang kita lakukan tentang efek buruk maupun manfaatnya, maka selama itu pula kita akan mampu melakukan hal-hal yang bermanfaat. Sama halnya denganmu Gus, banyak yang tidak memahami pemikiranmu, namun kau menunjukkan bahwa kau memahami tentang semua yang kau pesankan pada kami. Sudah menjadi tugas kami untuk melanjutkan perjuangannmu Gus. Semoga kami mampu menjadi Ad-Dakhil yang senantiasa peka terhadap segala sesuatu yang patut dan harus diperjuangkan". Wallohu a’lam

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Ad-Dakhil Bukan Sekedar Nama"

Posting Komentar