Benarkah hukum khilafah di Indonesia sebagai satu-satunya sistem terbaik pemerintahan

Perdebatan tentang sistem pemerintahan yang tepat bagi negeri dengan mayoritas muslim ini tidak lagi sekedar dalam wacana perdebatan pemikiran, tapi sudah pada aksi-aksi nyata untuk mewujudkan pendirian masing-masing. NKRI digugat karena dianggap tak sejalan dengan klaim “Khilafah, sebagai sistem pemerintahan yang paling benar”.
Hukum-khilafah-di-Indonesia
Apakah umat Islam indonesia telah salah jalan dalam mengambil bentuk NKRI? Apa sebenarnya Khilafah yang diklaim “paling benar” itu? Benarkah Islam hanya mengakui sistem itu?. Tulisan ini in syaa Allah akan memberi kita jawaban semua itu.

1. Apakah itu khilafah?

Dalam literatur fiqh siyasi (politik), istilah khilafah sering dideskripsikan sebagai bentuk mobilitas umum berdasarkan asas-asas syar’i dalam meraih kemaslahatan duniawi dan ukhrawi. Secara esensial, jabatan seorang khalifah dipandang sebagai pemegang otoritas religius dan otoritas politik. Pengertian seperti itu dapat dilihat dalam pejelasan seorang ulama ahli sejarah islam dan sosiologi, Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah (hlm. 97)
والخلافة هي حمل الكافة على مقتضى النظر الشرعي في مصالحهم الأخروية والدنيوية الراجعة إليها، إذ أحوال الدنيا ترجع كلها عند الشارع إلى اعتبارها بمصالح الآخرة، فهي في الحقيقة خلافة عن صاحب الشرع في جراسة الدين وسياسة الدنيا به...... وإذ قد بينا حقيقة هذا المنصب، وأنه نيابة عن صاحب الشريعة في حفظ الدين، وسياسة الدنيا به، تسمى خلافة وإمامة، والقائم به خليفة وإماماً. فأما تسميته إماماً فتشبيهاً بإمام الصلاة في اتباعه والاقتداء به، ولهذا يقال: الإمامة الكبرى. وأما تسميته خليفة فلكونه يخلف النبي في أمته، فيقال: خليفة بإطلاق، وخليفة رسول الله)مقدمة ابن خلدون (ص: 97، بترقيم الشاملة آليا
Kekhalifahan adalah memerintah rakyat sesuai dengan petunjuk agama, baik untuk soal-soal keakhiratan keduniawian, yang bersumber dari soal-soal keakhiratan itu, sebab dalam pandangan Pembuat Undang-undang, semua soal keduniaan ini harus dihukumi dari segi kepentingan hidup keakhiratan. Oleh karena itu, maka kekhalifahan (khilafat) adalah penggantian Pembuat Undang-undang oleh Khalifah, sebagai penegak agama dan sebagai pengatur soal-soal duniawi dipandang dari segi agama, Jabatan ini merupakan pengganti nabi Muhammad, dengan tugas yang sama: mempertahankan agama dan menjalankan kepemimpinan di dunia. Lembaga ini disebut "khilafah" (kekhalifahan) atau 'imamah." Orang yang menjalankan tugas itu disebut "khalifah" atau "imam."

2. Adakah dalil Nash (Qur’an-Hadits) yang mengharuskan sistem Khilafah?

Sebelum membahas apakah sistem khilafah sebagai sistem satu-satunya pemerintahan islam, ada baiknya terlebih dahulu membahas mengenai hukum membentuk pemerintahan. Menurut Imam Al Mawardi, seorang faqih dan ahli politik Islam menjelasakan bahwa secara hukum, mengangkat pemimpin (imâm) atau pemerintahan (imâmah) sebagai figur atau institusi pemegang otoritas ini merupakan kewajiban agama. Satu-satunya pijakan yang tegas melandasi hukum wajib ini adalah konsensus umat (ijma’). Sementara dalil-dalil berupa nash (Alqur’an dan Hadits), dilibatkan lebih sebagai justifikasi terhadap ijmak tentang persoalan ini dari pada sebagai landasan hukum itu sendiri. (lihat Ahkamus Sulthoniyah 1/3)
الْإِمَامَةُ مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا ، وَعَقْدُهَا لِمَنْ يَقُومُ بِهَا فِي الْأُمَّةِ وَاجِبٌ بِالْإِجْمَاعِ وَإِنْ شَذَّ عَنْهُمْ الْأَصَمُّ ، وَاخْتُلِفَ فِي وُجُوبِهَا هَلْ وَجَبَتْ بِالْعَقْلِ أَوْ بِالشَّرْعِ ؟ فَقَالَتْ طَائِفَةٌ وَجَبَتْ بِالْعَقْلِ لِمَا فِي طِبَاعِ الْعُقَلَاءِ مِنْ التَّسْلِيمِ لِزَعِيمٍ يَمْنَعُهُمْ مِنْ التَّظَالُمِ وَيَفْصِلُ بَيْنَهُمْ فِي التَّنَازُعِ وَالتَّخَاصُمِ ، وَلَوْلَا الْوُلَاةُ لَكَانُوا فَوْضَى مُهْمَلِينَ ، وَهَمَجًا مُضَاعِينَ ، وَقَدْ قَالَ الْأَفْوَهُ الْأَوْدِيُّ وَهُوَ شَاعِرٌ جَاهِلِيٌّ ( مِنْ الْبَسِيطِ ) : لَا يَصْلُحُ النَّاسُ فَوْضَى لَا سَرَاةَ لَهُمْ وَلَا سَرَاةٌ إذَا جُهَّالُهُمْ سَادُوا وَقَالَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى : بَلْ وَجَبَتْ بِالشَّرْعِ دُونَ الْعَقْلِ ، لِأَنَّ الْإِمَامَ يَقُومُ بِأُمُورٍ شَرْعِيَّةٍ قَدْ كَانَ مُجَوَّزًا فِي الْعَقْلِ أَنْ لَا يَرِدَ التَّعَبُّدُ بِهَا ، فَلَمْ يَكُنْ الْعَقْلُ مُوجِبًا لَهَا ، وَإِنَّمَا أَوْجَبَ الْعَقْلُ أَنْ يَمْنَعَ كُلُّ وَاحِدٍ نَفْسَهُ مِنْ الْعُقَلَاءِ عَنْ التَّظَالُمِ وَالتَّقَاطُعِ ، وَيَأْخُذَ بِمُقْتَضَى الْعَدْلِ فِي التَّنَاصُفِ وَالتَّوَاصُلِ ، فَيَتَدَبَّرُ بِعَقْلِهِ لَا بِعَقْلِ غَيْرِهِ ، وَلَكِنْ جَاءَ الشَّرْعُ بِتَفْوِيضِ الْأُمُورِ إلَى وَلِيِّهِ فِي الدِّينِ ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ } .فَفَرَضَ عَلَيْنَا طَاعَةَ أُولِي الْأَمْرِ فِينَا وَهُمْ الْأَئِمَّةُ الْمُتَأَمِّرُونَ عَلَيْنَا . )الأحكام السلطانية (1/ 3
Adapun Spirit pemerintahan Islam merujuk pada dalil-dalil nash Al Qur’an dan Hadits seperti perintah untuk menjalankan hukum-hukum Allah (QS. Alma'idah: 48, 49, dan 50), taat pada pemimpin (QS. Annisa’: 59), dan ayat-ayat yang berbicara tentang harta ghanimah (QS. Al’anfal: 41), tentang kewajiban menjalankan amanah dan keadilan (QS. Annisa’: 58), tentang hukum qishas dan pembunuhan (QS. Albaqarah: 178, 179, Annisa’: 92, 93), tentang vonis kafir, dhalim, dan fasiq bagi yang tidak menjalankan hukum Allah (QS. Alma’idah: 44, 45, dan 47), dll. Sejauh pengamatan penulis tidak ada satu dari sekian ayat-ayat tersebut -ataupun yang senada-, yang secara eksplisit mewajibkan pengangkatan khalifah atau pendirian negara dengan format tertentu dan baku sepanjang masa dalam segala situasi dan kondisi. Bahkan kebanyakan para ulama ahlus sunah melihat keberadaan bentuk khilafah dalam sistem pemerintahan sebagai persoalan ijtihadiyah dari sebuah generasi pada masanya, beberapa argumentasi yang melandasinya adalah realitas sejarah bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak menginstruksikan secara eksplisit mengenai pengganti setelahnya dan bentuk pemerintahanya (lihat Al Ghaits Hami’ Syarah Jam’ul Jawami’ hlm 17 dan 790). Kalau memang Rasul menentukan siapa dan bagaimana bentuk pemerintahan Islam setelahnya tentu tidak ada peristiwa di balai Bani Sa’idah dimana Kaum Anshar dan Muhajirin berbeda pendapat mengenai pengganti Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Akhirnya melalui musyawarah mufakat, Abu Bakar terpilih sebagai Khalifatu Rasulillah (pemimpin pengganti Rasul). Demikian juga para khulafa’ Rasyidin lainya yang diangkat melalui berbagai cara sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya, namun demikian prisnsipnya sama yaitu musyawarah, keahliam, kesetaraan dan keadilan.
لقد قرر القرآن تشريعا وحدودا وحلل وحرم وفرض فرائض منها ما يقوم به المرء بنفسه ومنها ما هو عمل جماعى ومنها ما يحتاج فى تنفيذه إلى من يتولى الأمر فيه وقد نص القرآن بصريح العبادة المسلمين إلى طاعة هؤلآء (يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيع الرسول وأولى الأمر منكم) …. كما ندد القرآن بالإستبداد والإستكبار وأثنى على الشورى والإحسان والعدل ….. ولكنه لم ينص لا على أمة الإسلام يجب أن يتطابق معها ملك الإسلام أو دولة الإسلام ولا على من يخلف الرسول فى تدبير شؤون هذه الأمة ولا حتى على ضرورة أن يكون هناك من يخلفه فىذلك بل ترك المسئلة للمسلمين وكأنها داخلة فى قوله عليه السلام أنتم أدرى بشؤون دنياكم. إهـ ----الغيث الهامع على شرح جمع الجوامع ص : 790----- قلت : مراده أنه عليه الصلاة والسلام لم يستخلف نصا أو تصريحا كما قدمته وقد قال النووى فى شرح مسلم : فيه دليل على أن النبى صلى الله عليه وسلم لم ينص على خليفة وهو إجماع أهل السنة وغيرهم. ----الغيث الهامع على شرح جمع الجوامع ص : 790-----

3. Bagaimana pemahaman terhadap dalil-dalil Al Qur’an dan Hadits yang diklaim sebagai dasar keharusan membentuk Khilafah?

Bagi mereka yang mengklaim sistem khilafah sebagai satu-satunya sistem pemerintahan Islam sering menggunakan nash Al Qur’an dan Hadits sebagai landasanya, namun sayang pemahaman mereka terkesan sepintas dan kurang mendalam. Diantara yang sering dijadikan dalil oleh mereka: Pertama: Surat Al Baqarah 30 sebagai dalih kewajiban mendirikan khalifah, dengan mengacu secara redaksional kata khalifah dalam ayat tersebut. Perlu diketahui, para ahli tafsir memahami kata khalifah itu terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan yang dimaksud khalifah adalah nabi Adam as., dan ada yang mengatakan anak turun nabi Adam as. Penyebutan khalifah kepada nabi Adam pun ulama berbeda pendapat. Satu versi mengatakan karena Adam dijadikan Allah sebagai pengganti (khalifah) bangsa jin (Banul Jan) menjadi penduduk bumi. Versi lain mengatakan, karena Adam menjadi utusan Allah dalam menghukumi makhluk di bumi (Lihat Fakhruddin Arrazi, Mafatihul Ghaib, vol. I hlm. 441) Kedua: Surat al-Maidah [5]: 48 dan 49 yang menjelaskan mengenai penegakan hukum-hukum Allah di muka bumi. Kita sepakat ayat ini memang memerintahkan kita untuk menegakan hukum Allah yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dengan sebenar-benarnya dan memang salah satu fungsi pemerintahan Islam adalah untuk menjamin dan mengawal penegakan hukum Allah sesuai dengan domainya, namun perlu dipahami bahwa ayat ini tidak menentukan format pemerintahan yang baku untuk tugas tersebut. Artinya bentuk pemerintahan apapun selama dapat mendukung terlaksannya hukum Allah tersebut dapat diterima. Ketiga: dalil as-Sunah seperti:
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةً لَهُ وَ مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan menjumpai Allah pada hari kiamat kelak tanpa memiliki hujah, dan siapa saja yang mati sedang di pundaknya tidak terdapat baiat, maka ia mati seperti kematian jahiliyah (HR. Muslim No 4899) Juga hadits berikut:
مَن مَاتَ وَلَيسَ لَهُ إِمَامٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barang siapa mati dan ia tidak memiliki imam, maka ia mati dalam kondisi jahiliah”. (HR. Ibn Hibban No 4573) Sekali lagi, mereka yang pro khilafah terkesan memaksakan dalil sesuai dengan keinginan mereka. Mari kita coba pahami hadits ini dengan merujuk pemahaman para ulama yang kredibel. Terkait dengan hadits ini, Abu Hatim mengatakan, "dhahir dari hadits ini, bahwa seseorang yang mati dan ia tidak memiliki imam, maksudnya imam adalah Nabi saw., karena imam penduduk bumi di dunia adalah Rasulullah saw. Barang siapa tidak mengetahui imamnya (nabinya), atau meyakini imam lain yang perkataannya mengalahkan perkataan Nabi saw., lalu ia mati, maka ia mati dalam kondisi jahiliah" (Lihat Shahih Ibn Hibban, vol. X hlm. 434)

Kesimpulan uraian pembuka ini sebagai berikut:

  • Dalil-dalil yang dikemukakan pihak pro khilafah, tidak bisa diklaim sebagai dalil spesifik (khash) dan eksplisit (sharih) dijadikan pijakan dan landasan syar'i kewajiban mendirikan khilafah dalam pengertian mereka (Negara Islam), melainkan sebatas dalil-dalil yang bersifat umum (‘am) dan mafhum.
  • Dalil-dalil yang mewajibkan nashbul imamah (pengangkatan pemimpin), tidak bisa diinterpretasikan terbatas pada arti figur "khalifah" dan sistem "khilafah", melainkan memiliki konotasi longgar yang bisa ditafsirkan dengan figur kepala negara, presiden, perdana menteri, khalifah, bahkan raja, dan sebuah sistem teokrasi maupun demokrasi.
  • Urusan kepemimpinan (imamah) bukanlah urusan akidah, melainkan urusan fiqhiyah siyasiyah yang terbuka ruang ijtihad untuk mencari bentuk dan formulasi ideal sesuai dengan prinsip kemaslahatan. Oleh karena itu, seseorang tidak bisa divonis kafir hanya lantaran menolak atau tidak mendukung ide khilafah.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Benarkah hukum khilafah di Indonesia sebagai satu-satunya sistem terbaik pemerintahan"

Posting Komentar