MusliModerat.net - Namaku Abu Ishaq Muhammad. Ayahku seorang Khalifah Abbasiyah yang legendaris, Harun Ar-Rasyid. Ibuku seorang budak bernama Maridah. Aku menjadi Khalifah kedelapan dari Dinasti Abbasiyah, menggantikan saudaraku, Khalifah Al-Ma’mun, yang wafat pada 7 Agustus tahun 833 Masehi. Gelarku sebagai Khalifah ialah al-Mu’tashim Billah. Aku dan keturunanku adalah penerus Dinasti Abbasiyah. Simaklah kisahku ini yang ngeri-ngeri sedap.
Sewaktu aku kecil, ayahku memberiku pelayan yang mengajariku membaca dan menulis. Namun pelayan itu wafat. Dan pelajaranku belum tuntas. Itulah sebabnya sejarawan seperti Imam Suyuthi mengutip riwayat bahwa aku bukan orang yang berilmu dan tidak pandai membaca-menulis. Tapi aku seorang pemberani, jago berperang dan sebagai pangeran aku juga dianggap cukup kharismatik.
Aku meneruskan kebijakan saudaraku, Khalifah al-Ma’mun, yaitu menjadikan Mu’tazilah sebagai paham resmi dan memaksa para ulama untuk mengatakan al-Qur’an itu makhluk, bukan qadim. Di bawah pengaruh Ibn Abi Du’ad yang aku lantik sebagai Ketua Mahkamah Agung, yang bermazhab Mu’tazilah, aku tak segan menyiksa para ulama yang menentang doktrin Mu’tazilah.
Sebagaimana al-Ma’mun, namaku cacat di mata para ulama tradisional akibat mihnah ini. Tapi aku tak peduli. Aku tetap menjalankan wewenangku sebagai khalifah. Siapa sih yang berani melawanku?
Izinkan Ulil Pensiun Membakar Rumah [Tanggapan untuk Muhidin Dahlan]
Read more
Imam Ahmad bin Hanbal aku perintahkan untuk dicambuk. Ulama besar lainnya, Ahmad Nashir Khaza’i, aku perintahkan dipenggal kepalanya karena menolak doktrin Mu’tazilah. Siapa bilang ada kebebasan berpendapat di masa kekhilafahanku?! Zamanku enak toh… melawan Khalifah, ya kepala melayang. Gak kayak era demokrasi, mau membubarkan ormas saja jalannya berliku.
Abbas, keponakanku, adalah satu-satunya anak lelaki Khalifah al-Ma’mun. Saat al-Ma’mun menjelang wafat, Abbas sedang berperang di wilayah lain dan akulah yang mendampingi al-Ma’mun. Mungkin karena itulah al-Ma’mun memilih aku, saudaranya, sebagai Khalifah dan bukannya memilih Abbas. Banyak yang menduga aku membujuk al-Ma’mun yang sekarat untuk menunjukku, malah ada juga yang tega menduga bahwa aku merekayasa penunjukkan ini.
Semula Abbas setuju dan mendukung aku, pamannya, sebagai Khalifah. Keponakanku ini, meski pernah jadi Gubernur dan seorang jenderal yang tangguh di medan perang, tapi dia seorang peragu. Saat aku diumumkan menjadi Khalifah, pasukan Abbas marah dan berteriak menyerukan nama Abbas sebagai Khalifah. Namun, setelah aku panggil menghadap, Abbas memutuskan memberikan baiatnya kepadaku. Banyak pasukannya yang kecewa dengan sikap Abbas. Jenderal peragu itu sudah ada sejak zaman khilafah, lho.
Namun, belakangan Abbas mulai membuat ulah. Bersama penasihatnya, Ujayf, mereka membuat plot hendak membunuhku. Saat kami bertempur dengan pasukan Bizantin di Ammuriyah, Ujayf menyusun konspirasi untuk membunuhku. Kembali Abbas ragu mengingat kami semua sedang memasuki pertempuran dengan Ammuriyah. Ini seperti menikam dari belakang.
Cabai Mahal, Ibu-ibu Jadi Kambing Hitam
Read more
Ujayf mendesak Abbas membunuhku karena inilah saat yang paling tepat. Abbas bimbang dan menunda pergerakan pasukannya. Kayakny Abbas gak cocok dengan konspirasi, jangan-jangan dia lebih senang dengan kontrasepsi. Ups, maaf. Bercanda. Bahas sejarah gak usah terlalu serius sampai lupa bercanda. Nanti kalau terlalu serius kita diledekin sama NU Garis Lucu.
Aku lantas mendengar konspirasi ini. Aku murka dan kemudian memerintahkan untuk menangkap dan lalu memenjarakan Abbas, keponakanku sendiri. Ini sebuah sinyal agar jangan ada satu pun yang berani merecoki kekuasaanku. Ujayf dan semua kolega Abbas, aku perintahkankan untuk dibunuh.
Tahukah Anda bagaimana aku bisa mendapatkan semua nama komplotan Abbas? Dari Abbas sendiri! Caranya? Aku undang Abbas makan malam, lalu aku sediakan minuman memabukkan, Abbas menduga aku sudah memaafkannya dan kemudian dia meminum hingga mabuk. Saat mabuk, aku tanya siapa saja nama komplotannya, dan dia tanpa sadar menceritakannya semua. Imam Thabari mencatat peristiwa ini dengan rapi.
Abbas aku masukkan penjara dan di dalam penjara semula tak dikasih makan, lantas diberi makan yang banyak tapi tak disediakan air, meski dia memintanya. Abbas akhirnya mati dalam penjara. Asyinas, salah satu komandan pasukanku, lantas membunuh semua keturunan lelaki Abbas agar mereka tidak bisa membalas dendam.
Aku juga perintahkan mimbar di masjid untuk melaknat nama Abbas ini. Demikianlah sebagian apa yang aku lakukan ini tercatat dalam al-Bidayah wan Nihayah karya Ibn Katsir (10/317).
Dikabarkan oleh al-‘Alai bahwa aku, yang tak cakap dalam hal ilmu pengetahuan ini, telah meriwayatkan sebuah Hadits sebagai berikut: “Rasulullah marah kepada Bani Fulan yang berjalan dengan sombong lalu Rasul membaca QS al-Isra: 60 “dan begitu pula pohon kayu yang terkutuk dalam al-Qur’an.”
Ditanyakan kepada Rasul: “pohon apa itu sehingga kami bisa mencabutnya?”
Rasul menjawab: “bukan pohon yang biasa tumbuh di bumi. Ini adalah Bani Umayyah yang kejam dan berkhianat.” Lalu Rasul menepuk punggung pamannya, Abbas bin Abdul Muthalib, dan berkata: “dari sulbimu akan lahir keturunanmu yang akan menumpas Bani Umayyah”.
Imam Suyuthi mengatakan bahwa hadits yang aku riwayatkan di atas adalah hadits palsu. Memang di masa kekhilafahan banyak muncul hadits-hadits palsu yang berorientasi politik.
Para khalifah Dinasti Umayyah membangun kekuasaan lewat loyalitas Arab. Khalifah Abbasiyah sebelumku membangun loyalitas pasukan lewat orang-orang Persia. Sedangkan di masa kekuasaanku, aku membangun kekuatan baru, yaitu pasukan keturunan budak dari Turki (ghilman). Aku kemudian mencari dan memobilisasi mereka dari berbagai penjuru kota. Lantas aku pindahkan ibu kota negara dari Baghdad ke kota Samarra. Di kota inilah pasukanku dari orang-orang Turki berkuasa di bawah Jenderal Afsyin.
Afsyin dan pasukannya banyak membantu aku memenangkan berbagai pertempuran. Tapi Afsyin lama kelamaan menjadi figur yang terlalu kuat. Aku jelas tak suka itu. Mata-mataku mengendus bahwa Afsyin sering mengirim uang ke kampung halamannya di Usyrusaniyyah. Aku curiga dia tengah membangun kekuasaanya sendiri. Dia dibawa ke pengadilan atas tuduhan pemberontakan. Tapi tuduhan ini tidak cukup kuat menyingkirkannya, maka aku memutar otak.
Bukankah kalau alasan makar gagal, maka alasan agama tidak akan lernah gagal? Maka, dibuatlah tuduhan berikutnya bahwa Afsyin telah murtad menjadi pengikut Zoroaster. Buktinya sederhana saja: telah ditemukan berbagai buku tentang agama Zoroaster di tangannya. Lho, kok cuma segitu buktinya? Ya pakai alasan agama gak perlu didukung bukti yang kuat, yang penting emosi dan sentiman massa.
Dan kembali Ibn Abi Du’ad, hakim kebanggaanku, yang mengadili dan memvonis Afsyin bersalah. Aku sediakan penjara khusus untuk Afsyin agar dia tidak bisa kabur. Setelah sembilan bulan dalam penjara sempit yang hanya cukup untuk bisa duduk saja, Afsyin meninggal dunia pada tahun 841.
Pada masa kekhilafahanku, aku juga mengangkat seorang Kristen menjadi Wazir (Menteri). Namanya al-Fadl bin Marwan. Dia seorang yang cakap. Ayahku, Khalifah Harun ar-Rasyid, yang pertama kali melihat talentanya dan kemudian mengangkatnya sebagai sekretaris lembaga pajak (diwan al-kharaj). Lantas saat aku menjadi Gubernur di Mesir, aku angkat dia sebagai kepala lembaga pajak.
Aku kemudian mengangkatnya sebagai Wazir dalam masa kekhilafahanku. Imam Thabari mencatat betapa semua urusan departemen dikontrol oleh Fadl. Dia menjadi menteriku selama tiga tahun. Keuangan negara menjadi stabil di masanya. Tapi seperti pejabat lainnya, aku pun kemudian menyingkirkan dan memenjarakannya. Alasanku menggesernya sederhana. Aku tak suka dia membatasi pengeluaran pribadiku. Jadi, ini bukan karena terjemahan lama Kementerian Agama akan QS al-Maidah: 51 ya.
Fadl itu terlalu serius mengurusi keuangan negara. Masak saat aku perintahkan dia memberi hadiah kepada para seniman, dia tidak menjalankannya. Mau menghemat keuangan negara katanya, sih. Tapi aku jadi gak enak. Sampai para seniman bilang bahwa the real khalifah itu Fadl. Ya sudah, aku copot saja dia. Masih untung tidak aku penggal kepalanya.
Pada tahun 842 Masehi saat aku berusia sekitar 46 atau 47 tahun, aku meminta dibekam. Namun, tubuhku malah menjadi tak karuan dan aku jatuh sampai meninggal. Begitulah catatan Imam Thabari tentang akhir kekuasaanku. Semuanya jadi serba delapan. Aku khalifah Abbasiyah kedelapan, lahir pada bulan kedelapan, anak kedelapan dari Harun ar-Rasyid, berkuasa delapan tahun-lebih delapan bulan, dan aku punya delapan anak lelaki dan delapan anak perempuan.
Dishare dari Tulisan Gus Nadirsah Hosen via Geotimes
Sewaktu aku kecil, ayahku memberiku pelayan yang mengajariku membaca dan menulis. Namun pelayan itu wafat. Dan pelajaranku belum tuntas. Itulah sebabnya sejarawan seperti Imam Suyuthi mengutip riwayat bahwa aku bukan orang yang berilmu dan tidak pandai membaca-menulis. Tapi aku seorang pemberani, jago berperang dan sebagai pangeran aku juga dianggap cukup kharismatik.
Aku meneruskan kebijakan saudaraku, Khalifah al-Ma’mun, yaitu menjadikan Mu’tazilah sebagai paham resmi dan memaksa para ulama untuk mengatakan al-Qur’an itu makhluk, bukan qadim. Di bawah pengaruh Ibn Abi Du’ad yang aku lantik sebagai Ketua Mahkamah Agung, yang bermazhab Mu’tazilah, aku tak segan menyiksa para ulama yang menentang doktrin Mu’tazilah.
Sebagaimana al-Ma’mun, namaku cacat di mata para ulama tradisional akibat mihnah ini. Tapi aku tak peduli. Aku tetap menjalankan wewenangku sebagai khalifah. Siapa sih yang berani melawanku?
Izinkan Ulil Pensiun Membakar Rumah [Tanggapan untuk Muhidin Dahlan]
Read more
Imam Ahmad bin Hanbal aku perintahkan untuk dicambuk. Ulama besar lainnya, Ahmad Nashir Khaza’i, aku perintahkan dipenggal kepalanya karena menolak doktrin Mu’tazilah. Siapa bilang ada kebebasan berpendapat di masa kekhilafahanku?! Zamanku enak toh… melawan Khalifah, ya kepala melayang. Gak kayak era demokrasi, mau membubarkan ormas saja jalannya berliku.
Abbas, keponakanku, adalah satu-satunya anak lelaki Khalifah al-Ma’mun. Saat al-Ma’mun menjelang wafat, Abbas sedang berperang di wilayah lain dan akulah yang mendampingi al-Ma’mun. Mungkin karena itulah al-Ma’mun memilih aku, saudaranya, sebagai Khalifah dan bukannya memilih Abbas. Banyak yang menduga aku membujuk al-Ma’mun yang sekarat untuk menunjukku, malah ada juga yang tega menduga bahwa aku merekayasa penunjukkan ini.
Semula Abbas setuju dan mendukung aku, pamannya, sebagai Khalifah. Keponakanku ini, meski pernah jadi Gubernur dan seorang jenderal yang tangguh di medan perang, tapi dia seorang peragu. Saat aku diumumkan menjadi Khalifah, pasukan Abbas marah dan berteriak menyerukan nama Abbas sebagai Khalifah. Namun, setelah aku panggil menghadap, Abbas memutuskan memberikan baiatnya kepadaku. Banyak pasukannya yang kecewa dengan sikap Abbas. Jenderal peragu itu sudah ada sejak zaman khilafah, lho.
Namun, belakangan Abbas mulai membuat ulah. Bersama penasihatnya, Ujayf, mereka membuat plot hendak membunuhku. Saat kami bertempur dengan pasukan Bizantin di Ammuriyah, Ujayf menyusun konspirasi untuk membunuhku. Kembali Abbas ragu mengingat kami semua sedang memasuki pertempuran dengan Ammuriyah. Ini seperti menikam dari belakang.
Cabai Mahal, Ibu-ibu Jadi Kambing Hitam
Read more
Ujayf mendesak Abbas membunuhku karena inilah saat yang paling tepat. Abbas bimbang dan menunda pergerakan pasukannya. Kayakny Abbas gak cocok dengan konspirasi, jangan-jangan dia lebih senang dengan kontrasepsi. Ups, maaf. Bercanda. Bahas sejarah gak usah terlalu serius sampai lupa bercanda. Nanti kalau terlalu serius kita diledekin sama NU Garis Lucu.
Aku lantas mendengar konspirasi ini. Aku murka dan kemudian memerintahkan untuk menangkap dan lalu memenjarakan Abbas, keponakanku sendiri. Ini sebuah sinyal agar jangan ada satu pun yang berani merecoki kekuasaanku. Ujayf dan semua kolega Abbas, aku perintahkankan untuk dibunuh.
Tahukah Anda bagaimana aku bisa mendapatkan semua nama komplotan Abbas? Dari Abbas sendiri! Caranya? Aku undang Abbas makan malam, lalu aku sediakan minuman memabukkan, Abbas menduga aku sudah memaafkannya dan kemudian dia meminum hingga mabuk. Saat mabuk, aku tanya siapa saja nama komplotannya, dan dia tanpa sadar menceritakannya semua. Imam Thabari mencatat peristiwa ini dengan rapi.
Abbas aku masukkan penjara dan di dalam penjara semula tak dikasih makan, lantas diberi makan yang banyak tapi tak disediakan air, meski dia memintanya. Abbas akhirnya mati dalam penjara. Asyinas, salah satu komandan pasukanku, lantas membunuh semua keturunan lelaki Abbas agar mereka tidak bisa membalas dendam.
Aku juga perintahkan mimbar di masjid untuk melaknat nama Abbas ini. Demikianlah sebagian apa yang aku lakukan ini tercatat dalam al-Bidayah wan Nihayah karya Ibn Katsir (10/317).
Dikabarkan oleh al-‘Alai bahwa aku, yang tak cakap dalam hal ilmu pengetahuan ini, telah meriwayatkan sebuah Hadits sebagai berikut: “Rasulullah marah kepada Bani Fulan yang berjalan dengan sombong lalu Rasul membaca QS al-Isra: 60 “dan begitu pula pohon kayu yang terkutuk dalam al-Qur’an.”
Ditanyakan kepada Rasul: “pohon apa itu sehingga kami bisa mencabutnya?”
Rasul menjawab: “bukan pohon yang biasa tumbuh di bumi. Ini adalah Bani Umayyah yang kejam dan berkhianat.” Lalu Rasul menepuk punggung pamannya, Abbas bin Abdul Muthalib, dan berkata: “dari sulbimu akan lahir keturunanmu yang akan menumpas Bani Umayyah”.
Imam Suyuthi mengatakan bahwa hadits yang aku riwayatkan di atas adalah hadits palsu. Memang di masa kekhilafahan banyak muncul hadits-hadits palsu yang berorientasi politik.
Para khalifah Dinasti Umayyah membangun kekuasaan lewat loyalitas Arab. Khalifah Abbasiyah sebelumku membangun loyalitas pasukan lewat orang-orang Persia. Sedangkan di masa kekuasaanku, aku membangun kekuatan baru, yaitu pasukan keturunan budak dari Turki (ghilman). Aku kemudian mencari dan memobilisasi mereka dari berbagai penjuru kota. Lantas aku pindahkan ibu kota negara dari Baghdad ke kota Samarra. Di kota inilah pasukanku dari orang-orang Turki berkuasa di bawah Jenderal Afsyin.
Afsyin dan pasukannya banyak membantu aku memenangkan berbagai pertempuran. Tapi Afsyin lama kelamaan menjadi figur yang terlalu kuat. Aku jelas tak suka itu. Mata-mataku mengendus bahwa Afsyin sering mengirim uang ke kampung halamannya di Usyrusaniyyah. Aku curiga dia tengah membangun kekuasaanya sendiri. Dia dibawa ke pengadilan atas tuduhan pemberontakan. Tapi tuduhan ini tidak cukup kuat menyingkirkannya, maka aku memutar otak.
Bukankah kalau alasan makar gagal, maka alasan agama tidak akan lernah gagal? Maka, dibuatlah tuduhan berikutnya bahwa Afsyin telah murtad menjadi pengikut Zoroaster. Buktinya sederhana saja: telah ditemukan berbagai buku tentang agama Zoroaster di tangannya. Lho, kok cuma segitu buktinya? Ya pakai alasan agama gak perlu didukung bukti yang kuat, yang penting emosi dan sentiman massa.
Dan kembali Ibn Abi Du’ad, hakim kebanggaanku, yang mengadili dan memvonis Afsyin bersalah. Aku sediakan penjara khusus untuk Afsyin agar dia tidak bisa kabur. Setelah sembilan bulan dalam penjara sempit yang hanya cukup untuk bisa duduk saja, Afsyin meninggal dunia pada tahun 841.
Pada masa kekhilafahanku, aku juga mengangkat seorang Kristen menjadi Wazir (Menteri). Namanya al-Fadl bin Marwan. Dia seorang yang cakap. Ayahku, Khalifah Harun ar-Rasyid, yang pertama kali melihat talentanya dan kemudian mengangkatnya sebagai sekretaris lembaga pajak (diwan al-kharaj). Lantas saat aku menjadi Gubernur di Mesir, aku angkat dia sebagai kepala lembaga pajak.
Aku kemudian mengangkatnya sebagai Wazir dalam masa kekhilafahanku. Imam Thabari mencatat betapa semua urusan departemen dikontrol oleh Fadl. Dia menjadi menteriku selama tiga tahun. Keuangan negara menjadi stabil di masanya. Tapi seperti pejabat lainnya, aku pun kemudian menyingkirkan dan memenjarakannya. Alasanku menggesernya sederhana. Aku tak suka dia membatasi pengeluaran pribadiku. Jadi, ini bukan karena terjemahan lama Kementerian Agama akan QS al-Maidah: 51 ya.
Fadl itu terlalu serius mengurusi keuangan negara. Masak saat aku perintahkan dia memberi hadiah kepada para seniman, dia tidak menjalankannya. Mau menghemat keuangan negara katanya, sih. Tapi aku jadi gak enak. Sampai para seniman bilang bahwa the real khalifah itu Fadl. Ya sudah, aku copot saja dia. Masih untung tidak aku penggal kepalanya.
Pada tahun 842 Masehi saat aku berusia sekitar 46 atau 47 tahun, aku meminta dibekam. Namun, tubuhku malah menjadi tak karuan dan aku jatuh sampai meninggal. Begitulah catatan Imam Thabari tentang akhir kekuasaanku. Semuanya jadi serba delapan. Aku khalifah Abbasiyah kedelapan, lahir pada bulan kedelapan, anak kedelapan dari Harun ar-Rasyid, berkuasa delapan tahun-lebih delapan bulan, dan aku punya delapan anak lelaki dan delapan anak perempuan.
Dishare dari Tulisan Gus Nadirsah Hosen via Geotimes
0 Response to "Al-Mu’tashim Billah, Khalifah Yang Mengangkat Kristen Sebagai Menteri"
Posting Komentar