Wahai Allah, Muhammadkan Kami

Oleh: Rijal Mumazziq z

MusliModerat.net - Duhai al-Amin, engkau yang memegang teguh kejujuran, pemilik kunci perbendaharaan di negeri Barat dan Timur, yang hanya tidur di atas tikar kasar, yang berbaju kain yang tidak lembut, yang hanya menyantap roti bertekstur keras dan beberapa butir kurma, tapi Allah menganugerahkanmu shalawat. Sebagaimana Allah memuliakan Adam alaihissalam dengan memerintahkan malaikat bersujud kepadanya, memuliakan Nuh alaihissalam dengan mengabulkan munajatnya, memuliakan Ibrahim alaihissalam dengan menjadikannya Khalilullah, serta memuliakan Musa alaihissalam dengan mengajaknya bercakap-cakap.

Duhai An-Najm ats-Tsaqib, seorang perempuan pernah sowan kepadamu dan memberi hadiah. Ini adalah kain yang kutenun sendiri, semoga engkau berkenan menggunakannya, wahai utusan Allah. Kata perempuan itu. Engkau berbahagia menerimanya hingga ada seorang sahabat yang memberanikan diri meminta kain indah itu, padahal engkau belum pernah sama sekali mengenakannya. Engkau tersenyum, masuk kamar, melipat kain indah itu lalu menghadiahkannya kepada sahabatmu tadi. Duhai Rasulullah, demi Allah, aku menginginkan kain ini bukan untuk kupakai, tapi untuk kujadikan kafan saat mati kelak. Kata sahabatmu dengan suara bergetar. Engkau lagi-lagi tersenyum mendengar alasan sahabatmu. Sungguh mempesona kedermawananmu, duhai Shahib al-Maqam al-Mahmud.

Duhai Utusan Allah yang memilih menambal baju dan memperbaiki terompah menggunakan tangannya sendiri, saat itu engkau memakai baju Najran yang tepiannya tebal, berjalan-jalan bersama Anas bin Malik, abdi ndalem yang engkau kasihi. Tiba-tiba seorang pria Badui menyusul dan menarik bajumu dengan keras, hingga bahumu terlihat dan tampak pula bekas tarikan yang kasar itu. Badui itu meminta harta kepadamu. Harta itu milik Allah, engkau menjawab. Tak takutkah kau mati dengan tindakanmu terhadapku tadi, engkau bertanya. Tidak, jawab orang dusun itu. Aku tidak takut karena engkau mustahil membahas keburukan dengan keburukan, ia melanjutkan. Dengan senyummu yang mempesona, engkau malah memberi orang udik itu gandum dan kurma yang masing-masing dimuat seekor unta.

Duhai Lelaki Penebar Cinta, di majelismu, semua duduk sama-rata, sama-rasa. Tak ada orang yang merasa lebih mulia-rendah dibandingkan orang lain. Tak ada suara keras. Tak ada kesalahan yang diungkit. Engkau memenuhinya dengan cinta, kesabaran, kemurahan dan kerendahan hati. Di majelismu, duhai baginda, engkau mengajarkan agar menghormati yang tua, mengasihi yang muda, & mencintai sesama.

Duhai laki-laki Pembelah Bulan, pernah engkau menanyakan kabar perempuan tua berkulit hitam yang biasanya tinggal di masjid. Engkau sedih mendengar kabar perempuan itu meninggal, dan engkau kecewa terhadap sikap para sahabat yang tidak mengabarkan kewafatan perempuan itu kepadamu. Engkau kemudian menziarahi kuburannya dan mendoakannya. Demikian sayangnya engkau pada umatmu, sehingga kepada sosok perempuan lanjut usia yang dianggap "tidak penting", dirimu masih menanyakan kabar dan menziarahi makamnya.
Duhai laki-laki yang Gemar Berziarah Kubur, ketika engkau beriringan bersama Umar bin Khattab, Zaid bin Sa'nah tiba-tiba-tiba menarik bajumu lalu mengumpatmu dan mencaci leluhur muliamu. Rupanya dia menagih utang, meski tempo pembayarannya masih beberapa hari lagi. Umar tidak terima dan melabrak Yahudi itu hingga dia gemetar ketakutan. Biarkan Umar, katamu menenangkan sahabat yang dikenal tegas itu. Ini urusanku dengan orang ini, mestinya engkau menyuruhku membayar lebih baik, dan kau minta orang ini menagih dengan baik pula, lanjutmu. Kemudian, engkau menunaikan kewajibanmu. Rupanya tindakan kasar Yahudi ini adalah semata-mata mengetes kesabaranmu sebagai seorang Utusan Allah, sebelum kemudian dia memilih bersyahadat di hadapanmu.

Duhai Ahmad al-Mujtaba, belahan jiwa Khadijah al-Kubra, engkau senantiasa meletakkan cinta istri kinasihmu itu di serambi sanubarimu. Saat Fath Makkah, engkau mengambil waktu khusus di sela-sela Yaumul Marhamah ini dengan menziarahi pusara Khadijah, meletakkan jubahmu di sisi makam, dan engkau pun bernostalgia dengan menyebut kemuliaan perempuan agung itu. Khadijah tak pernah pergi dari sanubarimu, duhai Khairul Bariyyah. Ketika engkau diberi hadiah daging, yang engkau ingat adalah Khadijah. Engkau mengambil bagian terbaik dari daging itu, lalu menyedekahkannya atas nama Khadijah kepada kaum miskin. Engkau memahat nama ibunda anak-anakmu itu dalam amal keseharianmu, hingga dalam berbagai kesempatan dirimu memujinya dalam kalimat-kalimat indah dengan balutan cinta. Bahkan, ketika seorang nenek bernama Hasanah al-Muzayyanah mengunjungimu, engkau menghormati dan memuliakannya, semata-mata karena Hasanah memiliki kedudukan istimewa di mata Khadijah.

Duhai Laki-laki yang Berwajah Purnama, di Mina, tatkala Haji Wada', Ma'mar bin Nahdlah memangkas rambutmu. Saat itu tidak selembar pun rambutmu jatuh kecuali tangan-tangan para sahabatmu siap menyambutnya. Mereka mencari keberkahan dari helai demi helai rambut muliamu. Bahkan, Khalid putra Walid, panglima kesayanganmu, memilih menyisipkan selembar rambutmu di helm perangnya dan berharap lantaran sehelai rambut itu pasukannya diberi keberkahan dan kemenangan dalam berbagai peperangan.

Duhai Allah, Muhammad-kan kami...

Dishare dari Rijal Mumazziq z

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Wahai Allah, Muhammadkan Kami"

Posting Komentar