MusliModerat.net ~ Dalam peradaban manusia, ada yang namanya ‘perayaan’, yakni suatu kegiatan untuk merayakan momen-momen tertentu yang dianggap istimewa oleh suatu masyarakat. Tentu saja, perayaan tersebut merupakan bentuk kreativitas manusia sebagai makhluk berbudaya. Tak terkecuali dengan masyarakat Hijaz.
Kota Mekah dan Madinah yang termasuk dalam wilayah ‘Hijaz’ menjadi titik-titik peradaban sejak dahulu kala. Sejak wilayah ini dihuni anak turun Ibrahim hingga hari ini. Sepanjang sejarah itu pulalah masyarakat Hijaz memiliki berbagai macam bentuk perayaan. Mulai dari pra-Islam hingga perayaan modern.
Di antara perayaan-perayaan itu ialah perayaan Maulid Nabi. Perayaan maulid yang digelar secara kolosal dan disponsori oleh pemerintah di Mekah dimulai pada masa Dinasti Fathimiyyah dan berakhir di masa Dinasti Turki Utsmani. Pada masa itu, tiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, digelarlah majlis yang diisi dengan ceramah keagamaan, disajikan pula aneka rupa makanan dan manisan.
Masyarakat Mekah, pada hari itu, berkumpul di Zuqaq al-Maulid, yaitu satu area di mana rumah kelahiran Rasulullah saw. berlokasi. Rumah yang dahulu dipasrahkan oleh Rasulullah kepada sepupu beliau, yakni Aqil bin Abu Thalib, pada masa Al-Khayzaran difungsikan sebagai masjid dan area sekitarnya disebut dengan Zuqaq al-Maulid.
Lokasi dan bentuk Zuqaq al-Maulid tempo dulu
Pada malam ke-12 bulan Rabi’ul Awwal, yakni ba’da Maghrib, kaum muslimin dari berbagai penjuru Mekah berkumpul ke tempat ini dengan membawa lilin atau lentera. Di tempat itu hadir pula para pembesar dari mazhab Syafi’I, Hanafi, Hanbali, maupun Maliki, serta disampaikanlah khutbah dan nasihat-nasihat. Kemudian mereka menuju Masjidil Haram dan shalat Isya di sana.
Suasana ini digambarkan begitu rupa oleh seorang sejarawan, al-‘Izz bin Fahd, yang mencatat prosesi perayaan maulid di Mekah pada tahun 911H/1505M. Pada momen berbahagia ini pula masyarakat Mekah banyak yang menyertainya dengan hajatan-hajatan pribadi sebagai bentuk tabarruk, seperti khitan, resepsi pernikahan, maupun akad nikah.
Perayaan Maulid ini merupakan acara resmi yang disponsori langsung oleh syarif (gubernur) Mekah kala itu, yang termasuk dalam naungan Dinasti Utsmaniyyah di Turki. Beliau mengundang semua elemen ulama dari berbagai mazab untuk menghadiri dan memberikan nasihat kepada masyarakat di hari itu. Pada masa ini juga ada sebagian kalangan yang tidak sepakat dengan perayaan Maulid Nabi, menyebutnya sebagai bid’ah dan menolak undangan dari syarif untuk menghadiri acara tersebut.
Snouck Hurgronje, menggambarkan bagaimana suasana perayaan Maulid Nabi di Mekah pada tahun 1292H/1875M:
“Acara dimulai pada siang hari tanggal 11 Rabi’ul Awwal, ditandai dengan suara meriam sebagai pertanda akan digelarnya perayaan. Pada hari itu, para pengajar mulai mengisahkan sejarah kelahiran Nabi Muhammad (maulid) untuk menggantikan pelajaran-pelajaran yang biasa
diajarkan. Setelah masuk waktu Maghrib malam 12 Rabi’ul Awwal, orang-orang mulai berkumpul dalam jumlah yang besar, para wanita pun turut dating, anak-anak juga ikut serta bersama ibu-ibu mereka, di jalan-jalan nampak para penjual jajanan dan mainan. Setelah selesai shalat Maghrib, lentera-lentera dalam jumlah begitu banyak mulai dinyalakan. Orang-orang saling bersalaman dan menyapa satu sama lain. Di sebelah utara Masjidul Haram, seorang imam duduk di atas mimbar kayu, memunggungi Ka’bah dan menghadap para jamaah, di situ ia membacakan kisah maulid. Di barisan depan, duduk gubernur Mekah dan perwakilan dari Turki. Setelah selesai pembacaan kisah maulid, rombongan syarif bergerak bersama para punggawa yang membawa lentera-lentera terang menuju Pasar Qasasiyah, melewati pasar Al-Layl, hingga sampai di bangunan kubah masjid di Syi’ib Ali. Di situlah tempat di mana Rasulullah saw. dilahirkan. Dan di hadapan rombongan ini, berdirilah Yasir al-Rays, salah seorang pembesar muazin dan ahli falak Masjidul Haram, disenandungkanlah nasyid-nasyid pujian bagi Rasulullah. Rombongan ini memasuki ruangan tempat kelahiran Nabi Muhammad, dibacakanlah beberapa bagian sejarah beliau, kemudian mereka shalat berjama’ah.
Seluruh prosesi ini memakan waktu kira-kira dua jam dari waktu Maghrib. Kemudian pada malam harinya digelar hiburan kesenian Samar, sebagian orang kemudian berbincang-bincang di kedai-kedai kopi, orang-orang sufi berkumpul membentuk lingkaran-lingkaran dan mulai membaca kasidah-kasidah seperti Burdah, Hamzawiyah, dan syair-syair pujian yang lainnya.” Perayaan Maulid Nabi di Hijaz, khususnya Mekah, sudah tidak diadakan sejak berkuasanya pemerintahan Dinasti Bani Sa’ud. Pemerintahan baru yang kemudian dikenal sebagai ‘Al-Mamlakah Al-‘Arabiyyah As-Su’udiyyah’ (Kingdom of Saudi Arabia) ini memiliki pandangan keagamaan yang sangat sensitif terhadap berbagai macam petilasan, dan sangat mengkhawatirkan timbulnya syirik (penyekutuan terhadap Tuhan), serta melarang berbagai perayaan yang dianggap bid’ah.
Tempat kelahiran Nabi Muhammad yang dahulu menjadi pusat perayaan pun dihancurkan kubahnya, tidak boleh dijadikan masjid, kemudian digunakan sebagai fasilitas umum. Atas protes beberapa kalangan, tempat itu kemudian dijadikan perpustakaan agar bisa lebih diurus dan dikelola dengan baik. Meski demikian, masih banyak titik komunitas-komunitas masyarakat muslim di Mekah maupun Madinah yang tetap mengadakan acara-acara dalam rangka merayakan Maulid Nabi Muhammad saw. [Zq]
*Diolah dari artikel: Al-Ihtifaalaat fi al-Hijaz oleh Ibrahim al-Aqsham di alhejaz.org
Sumber: Santrijagad.org
Kota Mekah dan Madinah yang termasuk dalam wilayah ‘Hijaz’ menjadi titik-titik peradaban sejak dahulu kala. Sejak wilayah ini dihuni anak turun Ibrahim hingga hari ini. Sepanjang sejarah itu pulalah masyarakat Hijaz memiliki berbagai macam bentuk perayaan. Mulai dari pra-Islam hingga perayaan modern.
Di antara perayaan-perayaan itu ialah perayaan Maulid Nabi. Perayaan maulid yang digelar secara kolosal dan disponsori oleh pemerintah di Mekah dimulai pada masa Dinasti Fathimiyyah dan berakhir di masa Dinasti Turki Utsmani. Pada masa itu, tiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, digelarlah majlis yang diisi dengan ceramah keagamaan, disajikan pula aneka rupa makanan dan manisan.
Masyarakat Mekah, pada hari itu, berkumpul di Zuqaq al-Maulid, yaitu satu area di mana rumah kelahiran Rasulullah saw. berlokasi. Rumah yang dahulu dipasrahkan oleh Rasulullah kepada sepupu beliau, yakni Aqil bin Abu Thalib, pada masa Al-Khayzaran difungsikan sebagai masjid dan area sekitarnya disebut dengan Zuqaq al-Maulid.
Lokasi dan bentuk Zuqaq al-Maulid tempo dulu
Pada malam ke-12 bulan Rabi’ul Awwal, yakni ba’da Maghrib, kaum muslimin dari berbagai penjuru Mekah berkumpul ke tempat ini dengan membawa lilin atau lentera. Di tempat itu hadir pula para pembesar dari mazhab Syafi’I, Hanafi, Hanbali, maupun Maliki, serta disampaikanlah khutbah dan nasihat-nasihat. Kemudian mereka menuju Masjidil Haram dan shalat Isya di sana.
Suasana ini digambarkan begitu rupa oleh seorang sejarawan, al-‘Izz bin Fahd, yang mencatat prosesi perayaan maulid di Mekah pada tahun 911H/1505M. Pada momen berbahagia ini pula masyarakat Mekah banyak yang menyertainya dengan hajatan-hajatan pribadi sebagai bentuk tabarruk, seperti khitan, resepsi pernikahan, maupun akad nikah.
Perayaan Maulid ini merupakan acara resmi yang disponsori langsung oleh syarif (gubernur) Mekah kala itu, yang termasuk dalam naungan Dinasti Utsmaniyyah di Turki. Beliau mengundang semua elemen ulama dari berbagai mazab untuk menghadiri dan memberikan nasihat kepada masyarakat di hari itu. Pada masa ini juga ada sebagian kalangan yang tidak sepakat dengan perayaan Maulid Nabi, menyebutnya sebagai bid’ah dan menolak undangan dari syarif untuk menghadiri acara tersebut.
Snouck Hurgronje, menggambarkan bagaimana suasana perayaan Maulid Nabi di Mekah pada tahun 1292H/1875M:
“Acara dimulai pada siang hari tanggal 11 Rabi’ul Awwal, ditandai dengan suara meriam sebagai pertanda akan digelarnya perayaan. Pada hari itu, para pengajar mulai mengisahkan sejarah kelahiran Nabi Muhammad (maulid) untuk menggantikan pelajaran-pelajaran yang biasa
diajarkan. Setelah masuk waktu Maghrib malam 12 Rabi’ul Awwal, orang-orang mulai berkumpul dalam jumlah yang besar, para wanita pun turut dating, anak-anak juga ikut serta bersama ibu-ibu mereka, di jalan-jalan nampak para penjual jajanan dan mainan. Setelah selesai shalat Maghrib, lentera-lentera dalam jumlah begitu banyak mulai dinyalakan. Orang-orang saling bersalaman dan menyapa satu sama lain. Di sebelah utara Masjidul Haram, seorang imam duduk di atas mimbar kayu, memunggungi Ka’bah dan menghadap para jamaah, di situ ia membacakan kisah maulid. Di barisan depan, duduk gubernur Mekah dan perwakilan dari Turki. Setelah selesai pembacaan kisah maulid, rombongan syarif bergerak bersama para punggawa yang membawa lentera-lentera terang menuju Pasar Qasasiyah, melewati pasar Al-Layl, hingga sampai di bangunan kubah masjid di Syi’ib Ali. Di situlah tempat di mana Rasulullah saw. dilahirkan. Dan di hadapan rombongan ini, berdirilah Yasir al-Rays, salah seorang pembesar muazin dan ahli falak Masjidul Haram, disenandungkanlah nasyid-nasyid pujian bagi Rasulullah. Rombongan ini memasuki ruangan tempat kelahiran Nabi Muhammad, dibacakanlah beberapa bagian sejarah beliau, kemudian mereka shalat berjama’ah.
Seluruh prosesi ini memakan waktu kira-kira dua jam dari waktu Maghrib. Kemudian pada malam harinya digelar hiburan kesenian Samar, sebagian orang kemudian berbincang-bincang di kedai-kedai kopi, orang-orang sufi berkumpul membentuk lingkaran-lingkaran dan mulai membaca kasidah-kasidah seperti Burdah, Hamzawiyah, dan syair-syair pujian yang lainnya.” Perayaan Maulid Nabi di Hijaz, khususnya Mekah, sudah tidak diadakan sejak berkuasanya pemerintahan Dinasti Bani Sa’ud. Pemerintahan baru yang kemudian dikenal sebagai ‘Al-Mamlakah Al-‘Arabiyyah As-Su’udiyyah’ (Kingdom of Saudi Arabia) ini memiliki pandangan keagamaan yang sangat sensitif terhadap berbagai macam petilasan, dan sangat mengkhawatirkan timbulnya syirik (penyekutuan terhadap Tuhan), serta melarang berbagai perayaan yang dianggap bid’ah.
Tempat kelahiran Nabi Muhammad yang dahulu menjadi pusat perayaan pun dihancurkan kubahnya, tidak boleh dijadikan masjid, kemudian digunakan sebagai fasilitas umum. Atas protes beberapa kalangan, tempat itu kemudian dijadikan perpustakaan agar bisa lebih diurus dan dikelola dengan baik. Meski demikian, masih banyak titik komunitas-komunitas masyarakat muslim di Mekah maupun Madinah yang tetap mengadakan acara-acara dalam rangka merayakan Maulid Nabi Muhammad saw. [Zq]
*Diolah dari artikel: Al-Ihtifaalaat fi al-Hijaz oleh Ibrahim al-Aqsham di alhejaz.org
Sumber: Santrijagad.org
0 Response to "Inilah Perayaan Maulid Nabi di Makkah Jaman Old, Sebelum Dikuasai Wahabi"
Posting Komentar