MusliModerat.net - Sidang Komisi Bahtsul Masa'il Waqi'iyyah atau forum pembahasan masalah aktual Nadhlatul Ulama (NU) memutuskan bahwa tayangan infotainment adalah haram hukumnya.
Fatwa ini diambil dalam pembahasan soal hukum frekuensi publik untuk menyiarkan konten dakwah provokatif, penyebaran kebencian, kekerasan, membahas masalah pribadi (gosip), sinetron berkualitas buruk, dan infotainment yang tidak mendidik.
Ketua Sidang Komisi, KH Ishomudin, mengatakan, frekuensi publik harus digunakan untuk kepentingan bersama demi kebaikan dan menghindari kerusakan di masyarakat. NU pun meminta pemerintah untuk proaktif menyikapi penyalahgunaan frekuensi.
"Pemerintah harus mengambil tindakan secara berkala diawali dengan memberi teguran, lantas peringatan, bahkan pencabutan izin," ujar Ishomudin di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Jumat (24/11/2017).
Ishomudin menyebutkan tidak ada perdebatan di antara peserta sidang soal fatwa tayang infotainment ini. Puluhan peserta sidang sepakat bahwa hukum masalah tersebut adalah haram dan tidak dibenarkan secara fiqh.
"Haram karena secara nyata telah menyalahi norma-norma syariat dan perundang-undangan-an negara," ujar Ishomudin.
Guru Besar Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Huzaimah Tahido Yanggo, mengatakan, acara-acara yang merusak kemaslahatan publik tidak dibenarkan secara agama.
Fiqh NU selalu mengedepankan prinsip dar'ul mafasid muqaddam 'ala jalbil mashalih atau mencegah kerusakan lebih diutamakan dari pada mendorong kebaikan.
Dakwah kebencian
Selain itu, Musyawarah Nasional Alim Ulama NU mengambil keputusan terkait ujaran kebencian melalui dakwah. Persoalan ini dinilai perlu dibahas karena sempat menyeruak saat Pilkada DKI Jakarta 2017.
Puluhan kiai yang memenuhi ruangan Bahtsul Masail al-Maudu'iyyah menyampaikan ujaran kebencian semakin meresahkan karena disusupi dalam dakwah.
Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail PBNU, Mahbub Ma'afi, mengatakan, ujaran kebencian masuk kategori perbuatan tercela.
"Karena itu ia haram dilakukan untuk kepentingan apa pun, termasuk untuk tujuan kebaikan seperti dakwah atau amar ma'ruf nahi munkar," ujar Mahbub.
Mahbub mengatakan, ujaran kebencian diharamkan karena menyerang kehormatan pribadi dan golongan yang dilindungi agama dan membawa dampak yang serius bagi tata kehidupan sosial masyarakat.
Misalnya, permusuhan, pertikaian, dan kebencian antara satu orang dengan orang lain dan antara golongan dengan golongan yang lain.
Menurut dia, perpecahan di kalangan golongan masyarakat akan mudah terjadi akibat ujaran kebencian yang menembus batas-batas pertahanan sosial masyarakat.
"Pada gilirannya, harmoni dan kerukunan masyarakat akan mudah terkikis dalam suasana dan iklim kebencian," ujar Mahbub.
Mahbub menerangkan, konten-konten ujaran kebencian kini mudah diakses dan tersebar ke seluruh lapisan masyarakat melalui media sosial, baik anak-anak maupun orang dewasa.
"Penyebaran ujaran kebencian di media sosial pun sulit dibendung dan masuk ke jantung kehidupan sosial masyarakat," ujar Mahbub.
Enam rekomendasi
Sementara Pimpinan Sidang Rekomendasi, Masduki Baidlowi, menjelaskan, ada enam rekomendasi kepada pemerintah yakni ekonomi dan kesejahteraan, penanggulangan radikalisme, sosial dan kesehatan, pendidikan, politik dalam negeri dan internasional, dan perdamaian Timur Tengah.
"Keenam persoalan tersebut dibahas untuk mengerucutkan tema besar Munas dan Konbes NU 2017 di NTB ini," ujar Masduki.
Khatib Aam PBNU, KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya, menyebutkan NU sebagai organisasi telah banyak berkiprah untuk kepentingan agama, bangsa, dan negara bahkan dalam skala global.
Forum Munas dan Konbes NU ini, menurut keponakan Gus Mus tersebut, merupakan wadah untuk menghasilkan keputusan-keputusan penting.
Gus Yahya menekankan radikalisme masih menjadi persoalan pelik yang sampai saat ini masih perlu pencegahan. Baik secara ideologis maupun hal lainnya yang menjadi dampak timbulnya gerakan-gerakan radikal.
"Bagi saya, penting untuk memahami persoalan radikalisme ini dari berbagai sisi, baik itu ekonomi, tatanan sosial, dan lain-lain," ujar Gus Yahya.
Ia sering melihat upaya propaganda radikal di berbagai kanal media. Kelompok radikal selalu menghadirkan dalil-dalil Alquran dan hadist sebagai alat pembenaran gerakannya.
"Jadi, penting bagi kita untuk memahami dalil-dalil agama dan akar persoalan radikalisme itu sendiri," ujar Gus Yahya.
Lebih Ketat Verifikasi Informasi di Medsos
INTELEKTUAL muda NU Ubaidillah Amien Moch meminta warganet lebih ketat dalam melakukan verifikasi informasi. Menurutnya, di era penyebar hoax seperti saat ini, verifikasi informasi sangat diperlukan.Verifikasi informasi baik di media twitter, whatsApp, facebook harus dilakukan secara serius apalagi selain dilarang oleh hukum positif, agama juga melarang.
Verifikasi bertujuan menyaring berbagai informasi yang memang benar, mencerahkan dan dapat menciptakan suasana kehidupan bangsa yang kondusif.
“Sekarang itu penyebar hoax massif, warganet harus ketat verifikasi setiap mendapat informasi, enggak bisa menelan mentah-mentah setiap dapat informasi, apalagi yang berkenaan dengan nama baik orang, isu sensitif dimasyarakat yang berkaitan dengan SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) yang dapat memecah belah persatuan bangsa,” tutur Ubaidillah, Jumat (24/11).
Lebih lanjut, pengasuh Ponpes Annuriyah, Kaliwining, Jember itu mengurai, sekitar setahun terakhir, banyak kasus yang berkaitan dengan tindakan ujaran kebencian, baik menggunakan isu SARA, bahkan perbedaan latarbelakang politik.
Dalam catatan Ubaidillah, tak sedikit kasus ujaran kebencian mengakibatkan ketegangan di kalangan masyarakat. Massifnya hoax itu, tambah Ubaidillah, membuat NU melihat perkembangan tindakan ujaran kebencian merupakan persoalan bangsa yang tak bisa diremehkan. Maka dari itu, dalam Munas Ulama NU ujaran kebencian dibahas secara khusus.
“Bisa dikatakan hoax, ujaran kebencian berkaitan SARA, itu sudah sangat mengkawatirkan, banyak informasi yang menjelekkan Kiai, tokoh agama, elite politik seperti Presiden Jokowi, bahkan informasi yang menimbulkan ketegangan di masyarakat menjadi pemandangan sehari-hari,” tambah Ubaidillah.
Selain itu, Ubaidillah meminta aparat kepolisian harus lebih gencar melakukan sosialisasi terkait dengan aturan hukum yang melarang tindakan ujaran kebencian.
Baik dalam aspek penegakan hukum dengan menindak tegas pelaku ujaran kebencian dan melakukan pencegahan dengan mensosialisasikan aturan dan ancaman pidananya. Langkah responsif kepolisian itu, menurut Ubaidillah sangatlah urgent mengingat tak sedikit masyarakat yang tidak mengetahui bahwa tindakannya melawan hukum.
“Polisi harus tegas menindak pelaku ujaran kebencian, Pasal 28 ayat 2 UU II TE ( informasi dan transaksi elektronik) misalnya harus lebih digencarkan informasinya kepada masyarakat, polisi perlu melibatkan tokoh agama, komunitas yang aktif di medsos,’ tukasnya. (Tribunnews/aco/nis/wly)
Fatwa ini diambil dalam pembahasan soal hukum frekuensi publik untuk menyiarkan konten dakwah provokatif, penyebaran kebencian, kekerasan, membahas masalah pribadi (gosip), sinetron berkualitas buruk, dan infotainment yang tidak mendidik.
Ketua Sidang Komisi, KH Ishomudin, mengatakan, frekuensi publik harus digunakan untuk kepentingan bersama demi kebaikan dan menghindari kerusakan di masyarakat. NU pun meminta pemerintah untuk proaktif menyikapi penyalahgunaan frekuensi.
"Pemerintah harus mengambil tindakan secara berkala diawali dengan memberi teguran, lantas peringatan, bahkan pencabutan izin," ujar Ishomudin di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Jumat (24/11/2017).
Ishomudin menyebutkan tidak ada perdebatan di antara peserta sidang soal fatwa tayang infotainment ini. Puluhan peserta sidang sepakat bahwa hukum masalah tersebut adalah haram dan tidak dibenarkan secara fiqh.
"Haram karena secara nyata telah menyalahi norma-norma syariat dan perundang-undangan-an negara," ujar Ishomudin.
Guru Besar Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Huzaimah Tahido Yanggo, mengatakan, acara-acara yang merusak kemaslahatan publik tidak dibenarkan secara agama.
Fiqh NU selalu mengedepankan prinsip dar'ul mafasid muqaddam 'ala jalbil mashalih atau mencegah kerusakan lebih diutamakan dari pada mendorong kebaikan.
Dakwah kebencian
Selain itu, Musyawarah Nasional Alim Ulama NU mengambil keputusan terkait ujaran kebencian melalui dakwah. Persoalan ini dinilai perlu dibahas karena sempat menyeruak saat Pilkada DKI Jakarta 2017.
Puluhan kiai yang memenuhi ruangan Bahtsul Masail al-Maudu'iyyah menyampaikan ujaran kebencian semakin meresahkan karena disusupi dalam dakwah.
Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail PBNU, Mahbub Ma'afi, mengatakan, ujaran kebencian masuk kategori perbuatan tercela.
"Karena itu ia haram dilakukan untuk kepentingan apa pun, termasuk untuk tujuan kebaikan seperti dakwah atau amar ma'ruf nahi munkar," ujar Mahbub.
Mahbub mengatakan, ujaran kebencian diharamkan karena menyerang kehormatan pribadi dan golongan yang dilindungi agama dan membawa dampak yang serius bagi tata kehidupan sosial masyarakat.
Misalnya, permusuhan, pertikaian, dan kebencian antara satu orang dengan orang lain dan antara golongan dengan golongan yang lain.
Menurut dia, perpecahan di kalangan golongan masyarakat akan mudah terjadi akibat ujaran kebencian yang menembus batas-batas pertahanan sosial masyarakat.
"Pada gilirannya, harmoni dan kerukunan masyarakat akan mudah terkikis dalam suasana dan iklim kebencian," ujar Mahbub.
Mahbub menerangkan, konten-konten ujaran kebencian kini mudah diakses dan tersebar ke seluruh lapisan masyarakat melalui media sosial, baik anak-anak maupun orang dewasa.
"Penyebaran ujaran kebencian di media sosial pun sulit dibendung dan masuk ke jantung kehidupan sosial masyarakat," ujar Mahbub.
Enam rekomendasi
Sementara Pimpinan Sidang Rekomendasi, Masduki Baidlowi, menjelaskan, ada enam rekomendasi kepada pemerintah yakni ekonomi dan kesejahteraan, penanggulangan radikalisme, sosial dan kesehatan, pendidikan, politik dalam negeri dan internasional, dan perdamaian Timur Tengah.
"Keenam persoalan tersebut dibahas untuk mengerucutkan tema besar Munas dan Konbes NU 2017 di NTB ini," ujar Masduki.
Khatib Aam PBNU, KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya, menyebutkan NU sebagai organisasi telah banyak berkiprah untuk kepentingan agama, bangsa, dan negara bahkan dalam skala global.
Forum Munas dan Konbes NU ini, menurut keponakan Gus Mus tersebut, merupakan wadah untuk menghasilkan keputusan-keputusan penting.
Gus Yahya menekankan radikalisme masih menjadi persoalan pelik yang sampai saat ini masih perlu pencegahan. Baik secara ideologis maupun hal lainnya yang menjadi dampak timbulnya gerakan-gerakan radikal.
"Bagi saya, penting untuk memahami persoalan radikalisme ini dari berbagai sisi, baik itu ekonomi, tatanan sosial, dan lain-lain," ujar Gus Yahya.
Ia sering melihat upaya propaganda radikal di berbagai kanal media. Kelompok radikal selalu menghadirkan dalil-dalil Alquran dan hadist sebagai alat pembenaran gerakannya.
"Jadi, penting bagi kita untuk memahami dalil-dalil agama dan akar persoalan radikalisme itu sendiri," ujar Gus Yahya.
Lebih Ketat Verifikasi Informasi di Medsos
INTELEKTUAL muda NU Ubaidillah Amien Moch meminta warganet lebih ketat dalam melakukan verifikasi informasi. Menurutnya, di era penyebar hoax seperti saat ini, verifikasi informasi sangat diperlukan.Verifikasi informasi baik di media twitter, whatsApp, facebook harus dilakukan secara serius apalagi selain dilarang oleh hukum positif, agama juga melarang.
Verifikasi bertujuan menyaring berbagai informasi yang memang benar, mencerahkan dan dapat menciptakan suasana kehidupan bangsa yang kondusif.
“Sekarang itu penyebar hoax massif, warganet harus ketat verifikasi setiap mendapat informasi, enggak bisa menelan mentah-mentah setiap dapat informasi, apalagi yang berkenaan dengan nama baik orang, isu sensitif dimasyarakat yang berkaitan dengan SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) yang dapat memecah belah persatuan bangsa,” tutur Ubaidillah, Jumat (24/11).
Lebih lanjut, pengasuh Ponpes Annuriyah, Kaliwining, Jember itu mengurai, sekitar setahun terakhir, banyak kasus yang berkaitan dengan tindakan ujaran kebencian, baik menggunakan isu SARA, bahkan perbedaan latarbelakang politik.
Dalam catatan Ubaidillah, tak sedikit kasus ujaran kebencian mengakibatkan ketegangan di kalangan masyarakat. Massifnya hoax itu, tambah Ubaidillah, membuat NU melihat perkembangan tindakan ujaran kebencian merupakan persoalan bangsa yang tak bisa diremehkan. Maka dari itu, dalam Munas Ulama NU ujaran kebencian dibahas secara khusus.
“Bisa dikatakan hoax, ujaran kebencian berkaitan SARA, itu sudah sangat mengkawatirkan, banyak informasi yang menjelekkan Kiai, tokoh agama, elite politik seperti Presiden Jokowi, bahkan informasi yang menimbulkan ketegangan di masyarakat menjadi pemandangan sehari-hari,” tambah Ubaidillah.
Selain itu, Ubaidillah meminta aparat kepolisian harus lebih gencar melakukan sosialisasi terkait dengan aturan hukum yang melarang tindakan ujaran kebencian.
Baik dalam aspek penegakan hukum dengan menindak tegas pelaku ujaran kebencian dan melakukan pencegahan dengan mensosialisasikan aturan dan ancaman pidananya. Langkah responsif kepolisian itu, menurut Ubaidillah sangatlah urgent mengingat tak sedikit masyarakat yang tidak mengetahui bahwa tindakannya melawan hukum.
“Polisi harus tegas menindak pelaku ujaran kebencian, Pasal 28 ayat 2 UU II TE ( informasi dan transaksi elektronik) misalnya harus lebih digencarkan informasinya kepada masyarakat, polisi perlu melibatkan tokoh agama, komunitas yang aktif di medsos,’ tukasnya. (Tribunnews/aco/nis/wly)
0 Response to "Bahtsul Masa'il Munas NU Putuskan Tayangan Infotainment Haram"
Posting Komentar