SURABAYA KOTA PAHLAWAN


 




SURABAYA KOTA PAHLAWAN
Oleh: KH. M. Abdul Ghufron Al Bantani

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh;
Salam Sejahtera,
Rahayu,

Surabaya Kota Pahlawan, pada waktu zaman penjajahan banyak pahlawan yang gugur di medan perang, Surabaya bisa menyelamatkan Bangsa Negara Indonesia. Rakyat-rakyat Indonesia harus ingat sejarah Proklamasi, jangan diam saja, mari kita bersatu, para ‘Ulama, Santri, dan tokoh-tokoh agama, suku-suku ikut berjuang membela bangsa. Tangisan, rintihan, kesakitan, yang tidak ada obatnya. Namun, dengan tekad bulat, para pejuang yakin bahwa Indonesia akan kembali merdeka.
Kota Surabaya merupaka salah satu Kota Metropolitan terbesar kedua setelah Jakarta. Surabaya sebenarnya memiliki sejarah panjang yang hanya bermula dari perkampungan kecil yang treletak di pinggiran sungai atau tepatnya di Muara Kali Mas dengan nama Ujung Galuh. Kampung ini merupaan bagian dari Kerajaan Majapahit. Kota ini sangat sarat dengan perjuangan bangsa Indonesia sehingga mendapat julukan Kota Pahlawan. Lihat saja saat 10 November, sebenarnya hari pahlawan sendiri ditetapkan saat salah satu pejuang Surabaya yakni Bung Tomo, rela mati demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Itu juga alasan Kota ini disebut dengan Kota Pahlawan.
Sejarah Kota Surabaya kental dengan nilai kepahlawanan. Sejak awal berdirinya, kota ini memiliki sejarah panjang yang terkait dengan nilai-nilai heroisme (keberanian dalam membela kebenaran). Istilah Surabaya terdiri dari kata Sura (berani) dan Baya (bahaya), yang kemudian secara harfiah diartikan sebagai berani menghadapi bahaya yang datang. Nilai kepahlawanan tersebut salah satunya terwujud dalam peristiwa pertempuran antara Raden Wijaya dan Pasukan Mongol pimpinan Kubilai Khan di tahun 1293. Begitu bersejarahnya pertempuran tersebut hingga tanggalnya diabadikan menjadi tanggal berdirinya Kota Surabaya hingga saat ini, yaitu 31 Mei. Heroisme masyarakat Surabaya paling tergambar dalam pertempuran 10 Nopember 1945. Arek-arek Suroboyo, sebutan untuk orang Surabaya, dengan berbekal bambu runcing mereka berani melawan pasukan sekutu yang memiliki persenjataan canggih. Puluhan ribu warga meninggal membela tanah air.

Peristiwa heroik ini kemudian diabadikan sebagai peringatan Hari Pahlawan. Sehingga membuat Surabaya dilabeli sebagai Kota Pahlawan. Sejarah Surabaya juga berkaitan dengan aktivitas perdagangan. Secara geografis Surabaya memang diciptakan sebagai kota dagang dan pelabuhan. Surabaya merupakan pelabuhan gerbang utama Kerajaan Majapahit. Letaknya yang dipesisir utara Pulau Jawa membuatnya berkembang menjadi sebuah pelabuhan penting di zaman Majapahit pada abad ke-14. Berlanjut pada masa kolonial, letak geografisnya yang sangat strategis membuat pemerintah Kolonial Belanda pada abad ke-19, memposisikannya sebagai pelabuhan utama yang berperan sebagai collecting centers dari rangkaian terakhir kegiatan pengumpulan hasil produksi perkebunan di ujung Timur Pulau Jawa, yang ada di daerah pedalaman untuk diekspor ke Eropa.

Kota pahlawan, adalah julukan utama Kota Surabaya. Julukan Kota Pahlawan untuk Surabaya itu dianugerahkan langsung oleh Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. H. Soekarno, tanggal 10 November 1950. Penganugerahan julukan Kota Pahlawan kepada Surabaya merupakan wujud sejarah bagaimana Arek-arek Suroboyo mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang sudah diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Terjadinya berbagai rentetan peristiwa yang mencapai puncaknya dalam pertempuran heroik 10 November 1945. Untuk menandai Surabaya sebagai Kota Pahlawan, Presiden Soekarno juga memancangkan bukti monumental di kota ini, yakni didirikannya sebuah tugu yang bernama Tugu Pahlawan.

Julukan sebagai “Kota Pahlawan” dinilai paling istimewa. Sebab, tidak ada kota di Indonesia ini yang dijuluki “Kota Pahlawan”, kendati hampir seluruh kota di Indonesia mempunyai semangat heroik dan perjuangan kepahlawanan. Seyogyanya para petinggi di Kota Pahlawan ini benar-benar menghayati arti dari julukan itu. Pengertian kepahlawanan di Kota Pahlawan Surabaya ini seharusnya tercermin dalam berbagai hal. Baik ciri, penampilan yang khas, serta watak dan wujud nyata dari kota ini. Artinya, saat memasuki Kota Surabaya, kesan pertama bagi orang yang belum pernah ke Surabaya, adalah nuansa kepahlawanan itu. Sebenarnya itulah yang diinginkan oleh Dwitunggal Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, Soekarno-Hatta. Mereka berdua, sebagai saksi sejarah tentang semangat kepahlawanan Arek-arek Suroboyo dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945. Bung Karno juga terkesan dengan peristiwa perobekan bendera di Hotel Orange atau Hotel Yamato di Jalan Tunjungan yang dikenal dengan “insiden bendera” tanggal 19 September 1945. Apalagi sejak saat itu, kegiatan perlawanan masyarakat Surabaya terhadap penjajah dan kaum kolonial semakin hebat dan gigih, maka tak pelak lagi Bung Karno dan Bung Hatta, langsung datang ke Surabaya. Hingga terjadi puncak perjuangan Arek Suroboyo, pada tanggal 10 November 1945.

Lima tahun kemudian, kesan Bung Karno terhadap Surabaya semakin mendalam. Ide pembangunan Tugu Pahlawan di Kota Surabaya, langsung mendapat perhatian Bung Karno. Untuk pertama kali di tahun 1950, Bung Karno menetapkan 10 November sebagai “Hari Pahlawan”. Sekaligus, Surabaya mendapat predikat “Kota Pahlawan”. Julukan sebagai Kota Pahlawan, juga dikaitkan dengan sejarah Surabaya. Sewaktu tahun 1293, lebih 700 tahun atau tujuh abad yang silam, Raden Wijaya dari Kerajaan Majapahit berjuang mengusir Tentara Tartar yang dipimpin Khu Bilai Khan, tidak lepas dari peranserta rakyat Surabaya yang waktu itu masih bernama Hujunggaluh. Nah, karena kepahlawanan sudah menjadi ciri Kota Surabaya, perlu dilakukan koreksi total, sehingga julukan Kota Pahlawan bagi Surabaya tidak ditelan oleh kehidupan masyarakat modern. Peninggalan sejarah tentang kepahlawanan Arek-arek Suroboyo ini patut dilestarikan.
Sejarah juga menegaskan peranan para Ulama dan Santri dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia juga tidak lepas dari laskar Hizbulloh. Meski bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, tetapi tidak semua negara di dunia mengakuinya, termasuk Belanda dan sekutunya. Belum genap satu bulan sejak diproklamirkan, Indonesia mulai diserang kembali oleh Belanda dan sekutunya. Sehingga para kiai dan santrinya bergabung ke pasukan nonreguler Sabilillah dan Hizbullah untuk menghadang kolonial masuk kembali ke Indonesia. Berbagai pesantren yang merupakan tempat pendidikan berubah fungsi sebagai markas pasukan kedua satuan itu, dan setiap saat siap menunggu komando untuk berangkat ke medan perang.
Di Surabaya, beberapa tokoh Islam berkumpul, mengatur strategi menghadapi serangan Sekutu yang telah mengultimatum Indonesia untuk ‘menyerah’ pada 9 November 1945. Diantara mereka ada KH. Mas Mansur, KH. Abdul Wahab Hasbullah, Bung Tomo, Roeslan Abdul Ghani, dan Dul Arnowo.
Sedemikian dahsyat perlawanan umat Islam, sampai salah seorang komandan pasukan India, Zia-ul-Haq, terheran-heran menyaksikan para Kyai dan santri bertakbir sambil mengacungkan senjata. Sebagai muslim, hati Zia-ul-Haq terenyuh, dan dia pun menarik diri dari medan perang. Sikap tentara yang kemudian menjadi Presiden Pakistan ini tentu saja semakin menyulitkan pasukan Inggris menguasai Indonesia dari sisi Surabaya.
Untuk itulah, KH Hasyim Asy’ari memerintahkan KH. Wahab Chasbullah dan KH. Bisri Syamsuri untuk mengumpulkan Kyai se-Jawa dan Madura. Para Kyai dari itu lantas rapat di Kantor PB. Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO), Jalan Bubutan VI/2, Surabaya, dan dipimpin Kyai Wahab Chasbullah pada 22 Oktober 1945. Pada 23 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy’ari, atas nama PBNU, mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah, yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad. "Itulah yang mendorong kaum muda untuk menyambut seruan Bung Tomo untuk berperang melawan tentara Inggris dan Belanda". Resolusi jihad itu lahir karena tentara Indonesia yang baru berdiri belum sekuat sekarang, bahkan berdirinya saja masih beberapa minggu. Dalam resolusi itu disebutkan, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada'. Sedangkan warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati.
Untuk menyambut pidato di radio yang menggelora dari Bung Tomo, maka semakin mantaplah semangat heroisme para pejuang yang berada di lapangan. Tidak hanya itu, laskar Hisbullah dan Sabilillah sebagai sayap militer umat Islam mulai berduyun-duyun memasuki Surabaya untuk menghadang kembalinya sang penjajah. Di antara alumnus kedua laskar yang ikut bertempur di Surabaya itu adalah KH. Munasir Ali, KH. Yusuf Hasyim, KH. Baidowi, KH. Mukhlas Rowi, dan KH. Sulanam Samsun.
Lima butir Resolusi Jihad
1. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan
2. Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dijaga dan ditolong
3. Musuh Republik Indonesia yaitu Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan tentara Sekutu pasti akan menggunakan cara-cara politik dan militer untuk menjajah kembali Indonesia
4. Umat Islam harus mengangkat senjata melawan Belanda dan tentara Sekutu yang ingin menjajah Indonesia kembali
5. Kewajiban ini merupakan perang suci bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 kilometer. Sedangkan mereka yang tinggal di luar radius tersebut harus membantu secara material terhadap mereka yang berjuang.
Rakyat-rakyat Indonesia sadarlah, berfikirlah, sayangi negeri ini, ingatlah Pancasila berkat perjuangan Tumpah Darah Para Pahlawan. Kita harus mengingati dari Sabang sampai Merauke. Indonesia adalah asas Pancasila. Kita harus kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mari kita sama-sama menyelamatkan negeri ini, bangsa kita, sesuai dengan Pancasila dan Merah Putih. Mudah-mudahan Tuhan menyelamatkan negeri ini, Ulama, Umaro, Tokoh-tokoh Lintas Agama, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut, dan Polisi. Mari kita saling menjaga, kita sama-sama saling berdo’a sesuai agama masing-masing, mudah-mudahan kita di lindungi.
وَمَنْ يَتَوَلَّ اللّٰهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللّٰهِ هُمُ الْغَالِبُونَ ﴿56﴾


  1. Artinya:”Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.”(Q.S. Al Maidah: 56)

“Mari jaga kedaulatan NKRI kita awali dengan menjaga lingkungan sekitar dengan mengadakan siskamling”
Salam Jiwa NKRI
Salam Jiwa Merah Putih
Salam Jiwa Pancasila
Salam Jiwa Bhinneka Tunggal Ika
Salam Jiwa Rakyat Indonesia
Salam Jiwa Lintas Agama
Salam Jiwa Angkatan Darat (AD)
Salam Jiwa Angkatan Laut (AL)
Salam Jiwa Angkatan Udara (AU)
Salam Jiwa Polisi
Salam Jiwa Rindu Ghufron

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh;
Salam Sejahtera,
Rahayu,



Malang, Selasa, 06 Juni 2017.
Waktu : 21.40 WIB

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SURABAYA KOTA PAHLAWAN"

Posting Komentar