MAJALAH NAHNU- Oleh : KH. Ubaidullah Shodaqoh Rais Syuriah PWNU Jawa Tengah.
Pelajaran madrasah diniyah (Madin) itu sebagai dasar pengetahuan siswa untuk masuk ke pondok pesantren yang hanya mengkaji ilmu-ilmu keislaman.
Kemauan para siswa mondok semisal ke Lirboyo, Sarang, Ploso, API Tegalrejo dan pondok pesantren yang mengajarkan kutub shafra’ (kitab kuning) lainnya, karena mereka terpengaruh dan dikenalkan oleh guru-gurunya di Madin atau mengikuti jejak guru-gurunya.
Dari para alumni pondok pesantren, kemudian langgar, mushalla, dan pengajian-pengajian lainnya di kampung menjadi berjalan. Bahkan diantara alumni bertekad hijrah ke daerah minus agama. Setelah pengajian di mushalla dapat mereka selenggarakan, tahap selanjutnya mengadakan madrasah diniyyah untuk menjaring anak-anak dan remaja.
Dari proses ini terjadi dialog antara teks dan konteks, antara ide dan realitas. Kegagalan mengkompromikan teks dengan konteks, ide dan realita adalah akar keresahan beragama dan titik tolak radikalisme.
Ya, seminim apapun, ballighû ‘annî walau âyah (sampaikanlah dariku [Nabi Muhammad] meski satu ayat), tapi sebagai guru Madin adalah guru seumur hidup.
Alumni Madin meskipun mereka sudah di mana saja, gurunya masih mentolo menegur jika “murid menyimpang dalam memahami nadham Allah Wujud Qidam Baqa’ dst.” Bahkan guru Madin menjadi “bapak pembimbing” para siswanya seumur
Pelajaran madrasah diniyah (Madin) itu sebagai dasar pengetahuan siswa untuk masuk ke pondok pesantren yang hanya mengkaji ilmu-ilmu keislaman.
Kemauan para siswa mondok semisal ke Lirboyo, Sarang, Ploso, API Tegalrejo dan pondok pesantren yang mengajarkan kutub shafra’ (kitab kuning) lainnya, karena mereka terpengaruh dan dikenalkan oleh guru-gurunya di Madin atau mengikuti jejak guru-gurunya.
Dari para alumni pondok pesantren, kemudian langgar, mushalla, dan pengajian-pengajian lainnya di kampung menjadi berjalan. Bahkan diantara alumni bertekad hijrah ke daerah minus agama. Setelah pengajian di mushalla dapat mereka selenggarakan, tahap selanjutnya mengadakan madrasah diniyyah untuk menjaring anak-anak dan remaja.
Dari proses ini terjadi dialog antara teks dan konteks, antara ide dan realitas. Kegagalan mengkompromikan teks dengan konteks, ide dan realita adalah akar keresahan beragama dan titik tolak radikalisme.
Ya, seminim apapun, ballighû ‘annî walau âyah (sampaikanlah dariku [Nabi Muhammad] meski satu ayat), tapi sebagai guru Madin adalah guru seumur hidup.
Alumni Madin meskipun mereka sudah di mana saja, gurunya masih mentolo menegur jika “murid menyimpang dalam memahami nadham Allah Wujud Qidam Baqa’ dst.” Bahkan guru Madin menjadi “bapak pembimbing” para siswanya seumur
hidup.
Terus bagaimana kita mengarahkan anak pondok “mligi”, yakni anak yang hanya mengenyam pendidikan di pondok pesantren saja?
Mereka harus terlibat full day setamat dari pondok?
Atau mereka langsung magang sebagai kiai dan mendeklarasikan diri sebagaimana yang dilakukan “ulama dadakan” saat ini yang kosong mlompong kecuali penampilan?
Yakin tidak ada syarat formalitas ini itu?
Terus mampukah dan sanggupkah guru-guru sekolah formal membimbing keagamaan anak didik full day siang malam di kampung.dan gang-gang kota? Pengalaman, saya bersentuhan dengan radikalisme semasa sekolah di SMA negeri yang dapat dikatakan favorit.
Bersentuhan dengan dunia liberal ketika berada di fakultas ilmu non eksak dan kembali ke tawassuth-tawazun ketika di Madin dan Ponpes tradisional yang penuh kebijakan terutama local wisdom-nya yang telah teruji.
Saya yang berbasis di pondok dengan yayasan yang sudah berjalan tentu takkan risau bagaimana kelanjutan pendidikan keagamaan lembaga kami.
Tapi berapa jumlah di antara anak-anak kita yang sempat mondok?
Eksistensi Madin di kampung-kampung meskipun kecil tapi memiliki kontribusi besar bagi anak-anak yang tidak sempat mondok karena harus membantu kerja orang tua.
Saya pikir, kami pun tak perlu mendirikan pondok pesantren model kombinasi dengan sekolahan jika Madin-Madin di kampung eksis. Berapa jumlah dan kemampuan pondok pesantren menampung anak didik sih? Saya yakin tak sebanyak mereka yang belajar di Madin yang tersebar di kampung-kampung.
Ya, Madin sebagai benteng pertahanan pembumian Islam jangan sampai runtuh. Jika runtuh paling lambat 5 tahun lagi akan kita lihat dampaknya.
Kemudian kita menyesal 5 tahun. Lalu kita memperbaikinya dan terseok-seok sampai entah kapan. Ya tentu semua terserah Gusti Allah, dan kita pasrahkan kepada-Nya.
Terus bagaimana kita mengarahkan anak pondok “mligi”, yakni anak yang hanya mengenyam pendidikan di pondok pesantren saja?
Mereka harus terlibat full day setamat dari pondok?
Atau mereka langsung magang sebagai kiai dan mendeklarasikan diri sebagaimana yang dilakukan “ulama dadakan” saat ini yang kosong mlompong kecuali penampilan?
Yakin tidak ada syarat formalitas ini itu?
Terus mampukah dan sanggupkah guru-guru sekolah formal membimbing keagamaan anak didik full day siang malam di kampung.dan gang-gang kota? Pengalaman, saya bersentuhan dengan radikalisme semasa sekolah di SMA negeri yang dapat dikatakan favorit.
Bersentuhan dengan dunia liberal ketika berada di fakultas ilmu non eksak dan kembali ke tawassuth-tawazun ketika di Madin dan Ponpes tradisional yang penuh kebijakan terutama local wisdom-nya yang telah teruji.
Saya yang berbasis di pondok dengan yayasan yang sudah berjalan tentu takkan risau bagaimana kelanjutan pendidikan keagamaan lembaga kami.
Tapi berapa jumlah di antara anak-anak kita yang sempat mondok?
Eksistensi Madin di kampung-kampung meskipun kecil tapi memiliki kontribusi besar bagi anak-anak yang tidak sempat mondok karena harus membantu kerja orang tua.
Saya pikir, kami pun tak perlu mendirikan pondok pesantren model kombinasi dengan sekolahan jika Madin-Madin di kampung eksis. Berapa jumlah dan kemampuan pondok pesantren menampung anak didik sih? Saya yakin tak sebanyak mereka yang belajar di Madin yang tersebar di kampung-kampung.
Ya, Madin sebagai benteng pertahanan pembumian Islam jangan sampai runtuh. Jika runtuh paling lambat 5 tahun lagi akan kita lihat dampaknya.
Kemudian kita menyesal 5 tahun. Lalu kita memperbaikinya dan terseok-seok sampai entah kapan. Ya tentu semua terserah Gusti Allah, dan kita pasrahkan kepada-Nya.
0 Response to "Madrasah Diniyah dan Benteng Pertahanan Islam"
Posting Komentar