MusliModerat.net - Nurshardrina Khairadhania memberitahu keluarganya begitu sebuah konten di internet memikat hatinya. Gadis 17 tahun itu meyakinkan ke orang tua, saudara perempuan, bibi, paman, dan sepupunya bahwa mereka harus pindah ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.
Mimpi tentang perubahan nasib pun terpampang di depan mata mereka, mulai dari pendidikan gratis, pelayanan kesehatan, hingga prospek perbaikan ekonomi. Yang terpenting, tentu saja, adalah kesempatan hidup dalam apa yang mereka anggap sebagai masyarakat Islam ideal yang ditopang kekuasaan. Ajakan Nurshardrina berhasil. Lebih dari 20 anggota keluarga akhirnya berangkat ke sana.
Dalam waktu yang relatif singkat, mimpi-mimpi itu hancur ketika apa yang dijanjikan informasi di internet itu ternyata tak ada. Sebaliknya, yang terpampang justru adalah para gadis dipaksa menikah dengan pejuang ISIS, para pria didorong maju di medan pertempuran, serta kebrutalan dan ketidakadilan lainnya.
Hanya beberapa bulan setelah tinggal di sana, mereka berusaha untuk melarikan diri. Selama waktu itu pula Nur, sapaan akrab Nurshardrina Khairadhania, berpisah dengan orang-orang tersayangnya satu persatu. Neneknya meninggal dunia dan pamannya terbunuh dalam serangan udara.
"ISIS menyebarkan hanya yang bagus-bagus di internet," kata perempuan berhijab itu kepada AP, sebagaimana dikutip NU Online, Jumat (6/8).
Nurshardrina Khairadhania kini berusia 19 tahun. Ajakan Nur kepada keluarga besarnya untuk bergabung dengan ISIS di Raqqa, Suriah, dua tahun lalu, masih segar di ingatannya. Sungguh ia kecewa berat dengan realitas yang dihadapinya sekarang.
Kini Nur tinggal bersama ibunya, dua saudara perempuan, tiga bibi, dan dua sepupu perempuan beserta ketiga anak mereka di Ain Issa, sebuah kamp milik pasukan pengungsi Kurdi yang berusaha mengusir ISIS dari Raqqa. Ayahnya dan empat saudara sepupu yang masih hidup berada dalam tahanan di utara sana. Saat para pria diinterogasi pasukan Kurdi terkait kemungkinan ada hubungan dengan ISIS, para wanita menunggu di sebuah tenda yang panas nan pengap, sambil berharap keluarga itu bisa bersatu lagi dan pulang ke rumah mereka di Jakarta.
Keluarga Nur hanyalah sebagian kecil di antara ribuan orang dari Asia, Eropa, Afrika, Amerika Utara dan Timur Tengah yang mengejar impian "masyarakat Islam" baru yang dipromosikan ISIS lewat video propaganda, blog online dan media sosial lainnya. Saat mereka tiba di sana, pemandangan yang tampak adalah fenomena pemenggalan kepala secara brutal, penculikan, dan perbudakan perempuan oleh ISIS.
Semula Nur dan saudara perempuannya mengira pemandangan mengerikan semacam itu hanyalah kampanye murahan orang-orang yang tak suka dengan "khilafah Islam" yang baru lahir.
"Saya takut melihatnya. Pertama kali saya kira itu adalah kelompok lain... Pembenci ISIS," kisah Nur.
Masih terngiang di benaknya, beberapa bulan setelah para ekstremis menyatakan "kekhalifahan" di wilayah jajahan mereka di Suriah dan Irak pada musim panas 2014, Nur menyodorkan janji manis yang ada di blog ISIS kepada keluarganya: saudaranya yang berusia 21 tahun dapat melanjutkan pendidikan komputernya secara gratis. Sepupunya yang janda, Difansa Rachmani (32), bisa memperoleh perawatan kesehatan gratis untuk dirinya dan ketiga anaknya yang salah satunya menderita autisme.
Pamannya juga diharapkan bisa lepas dari lilitan utang yang ia keluarkan untuk menyelamatkan bisnis montir mekaniknya di Jakarta—bahkan bisa membuka bisnis baru serupa di Raqqa dengan bayangan permintaan bakal tinggi untuk keperluan senjata bom mobil yang biasa digunakan pasukan ISIS.
Keluarga itu pun menjual rumah, mobil, dan perhiasan emas mereka. Dana pun berhasil terkumpul 38.000 dollar AS atau sekitar setengah miliar rupiah dan digunakan untuk perjalanan ke Turki lalu ke Suriah.
Tapi begitu sampai di Turki, pertengkaran pertama dimulai soal bagaimana atau apakah perlu menyelinap ke Suriah. Tujuh kerabat nekat mengambil keputusan sendiri dan akhirnya ditahan pihak berwenang Turki saat mencoba melewati perbatasan secara ilegal. Mereka dideportasi kembali ke Indonesia dan merasa selalu diawasi karena sisa keluarga mereka tinggal di wilayah ISIS.
Kisah tentang keluarga yang tercerai berai pun dimulai. Setelah tiba di wilayah kelompok ISIS pada Agustus 2015, keluarga tersebut dipencar lagi: para pria diperintahkan untuk mengikuti kelas pendidikan Islam, dan akhirnya dipenjara selama berbulan-bulan karena menolak pelatihan dan pengabdian militer. Setelah dibebaskan, mereka hidup dalam persembunyian demi menghindari rekrutmen paksa atau hukuman penjara baru. Sementara itu, para wanita dan anak perempuan dikirim ke asrama wanita.
Nur kaget dengan kehidupan di asrama yang dikelola ISIS. Para wanita kerap cekcok, bergosip, saling curi dan terkadang malah bertengkar dengan pisau. Nama Nur dan saudara perempuannya yang berumur 21 tahun dan sepupunya yang janda karena cerai, masuk ke dalam daftar calon istri pejuang ISIS. Para wanita harus siap ketika anggota milisi itu mengajukan permintaan istri, bahkan meski tanpa menemui mereka terlebih dahulu.
"Ini gila! Kami tidak tahu siapa mereka. Kami tidak tahu latar belakang mereka. Mereka ingin menikah dan menikah," katanya.
"ISIS cuma pengen tiga hal: wanita, kekuasaan, dan uang," kata Nur dan sepupunya, Rachmani, serentak.
"Mereka bertingkah seperti Tuhan," Nur menambahkan. "Mereka membuat hukum sendiri... Mereka sangat jauh dari Islam. "
Di sebuah pusat keamanan yang dikelola pasukan Kurdi di Kobani, utara Raqqa, sepupu Nur yang berusia 18 tahun mengaku bahwa tinggal di bawah ekstremis seperti hidup dalam "penjara".
"Kami (tidak) ingin pergi ke Suriah untuk perang," kata pria itu yang tak mau disebut namanya karena alasan keamanan. "Kami hanya ingin hidup di negara Islam. Tapi ini sungguh bukan negara Islam. Ini ketidakadilan, Muslim memerangi sesama Muslim." (Red: Mahbib/NU Online)
Mimpi tentang perubahan nasib pun terpampang di depan mata mereka, mulai dari pendidikan gratis, pelayanan kesehatan, hingga prospek perbaikan ekonomi. Yang terpenting, tentu saja, adalah kesempatan hidup dalam apa yang mereka anggap sebagai masyarakat Islam ideal yang ditopang kekuasaan. Ajakan Nurshardrina berhasil. Lebih dari 20 anggota keluarga akhirnya berangkat ke sana.
Dalam waktu yang relatif singkat, mimpi-mimpi itu hancur ketika apa yang dijanjikan informasi di internet itu ternyata tak ada. Sebaliknya, yang terpampang justru adalah para gadis dipaksa menikah dengan pejuang ISIS, para pria didorong maju di medan pertempuran, serta kebrutalan dan ketidakadilan lainnya.
Hanya beberapa bulan setelah tinggal di sana, mereka berusaha untuk melarikan diri. Selama waktu itu pula Nur, sapaan akrab Nurshardrina Khairadhania, berpisah dengan orang-orang tersayangnya satu persatu. Neneknya meninggal dunia dan pamannya terbunuh dalam serangan udara.
"ISIS menyebarkan hanya yang bagus-bagus di internet," kata perempuan berhijab itu kepada AP, sebagaimana dikutip NU Online, Jumat (6/8).
Nurshardrina Khairadhania kini berusia 19 tahun. Ajakan Nur kepada keluarga besarnya untuk bergabung dengan ISIS di Raqqa, Suriah, dua tahun lalu, masih segar di ingatannya. Sungguh ia kecewa berat dengan realitas yang dihadapinya sekarang.
Kini Nur tinggal bersama ibunya, dua saudara perempuan, tiga bibi, dan dua sepupu perempuan beserta ketiga anak mereka di Ain Issa, sebuah kamp milik pasukan pengungsi Kurdi yang berusaha mengusir ISIS dari Raqqa. Ayahnya dan empat saudara sepupu yang masih hidup berada dalam tahanan di utara sana. Saat para pria diinterogasi pasukan Kurdi terkait kemungkinan ada hubungan dengan ISIS, para wanita menunggu di sebuah tenda yang panas nan pengap, sambil berharap keluarga itu bisa bersatu lagi dan pulang ke rumah mereka di Jakarta.
Keluarga Nur hanyalah sebagian kecil di antara ribuan orang dari Asia, Eropa, Afrika, Amerika Utara dan Timur Tengah yang mengejar impian "masyarakat Islam" baru yang dipromosikan ISIS lewat video propaganda, blog online dan media sosial lainnya. Saat mereka tiba di sana, pemandangan yang tampak adalah fenomena pemenggalan kepala secara brutal, penculikan, dan perbudakan perempuan oleh ISIS.
Semula Nur dan saudara perempuannya mengira pemandangan mengerikan semacam itu hanyalah kampanye murahan orang-orang yang tak suka dengan "khilafah Islam" yang baru lahir.
"Saya takut melihatnya. Pertama kali saya kira itu adalah kelompok lain... Pembenci ISIS," kisah Nur.
Masih terngiang di benaknya, beberapa bulan setelah para ekstremis menyatakan "kekhalifahan" di wilayah jajahan mereka di Suriah dan Irak pada musim panas 2014, Nur menyodorkan janji manis yang ada di blog ISIS kepada keluarganya: saudaranya yang berusia 21 tahun dapat melanjutkan pendidikan komputernya secara gratis. Sepupunya yang janda, Difansa Rachmani (32), bisa memperoleh perawatan kesehatan gratis untuk dirinya dan ketiga anaknya yang salah satunya menderita autisme.
Pamannya juga diharapkan bisa lepas dari lilitan utang yang ia keluarkan untuk menyelamatkan bisnis montir mekaniknya di Jakarta—bahkan bisa membuka bisnis baru serupa di Raqqa dengan bayangan permintaan bakal tinggi untuk keperluan senjata bom mobil yang biasa digunakan pasukan ISIS.
Keluarga itu pun menjual rumah, mobil, dan perhiasan emas mereka. Dana pun berhasil terkumpul 38.000 dollar AS atau sekitar setengah miliar rupiah dan digunakan untuk perjalanan ke Turki lalu ke Suriah.
Tapi begitu sampai di Turki, pertengkaran pertama dimulai soal bagaimana atau apakah perlu menyelinap ke Suriah. Tujuh kerabat nekat mengambil keputusan sendiri dan akhirnya ditahan pihak berwenang Turki saat mencoba melewati perbatasan secara ilegal. Mereka dideportasi kembali ke Indonesia dan merasa selalu diawasi karena sisa keluarga mereka tinggal di wilayah ISIS.
Kisah tentang keluarga yang tercerai berai pun dimulai. Setelah tiba di wilayah kelompok ISIS pada Agustus 2015, keluarga tersebut dipencar lagi: para pria diperintahkan untuk mengikuti kelas pendidikan Islam, dan akhirnya dipenjara selama berbulan-bulan karena menolak pelatihan dan pengabdian militer. Setelah dibebaskan, mereka hidup dalam persembunyian demi menghindari rekrutmen paksa atau hukuman penjara baru. Sementara itu, para wanita dan anak perempuan dikirim ke asrama wanita.
Nur kaget dengan kehidupan di asrama yang dikelola ISIS. Para wanita kerap cekcok, bergosip, saling curi dan terkadang malah bertengkar dengan pisau. Nama Nur dan saudara perempuannya yang berumur 21 tahun dan sepupunya yang janda karena cerai, masuk ke dalam daftar calon istri pejuang ISIS. Para wanita harus siap ketika anggota milisi itu mengajukan permintaan istri, bahkan meski tanpa menemui mereka terlebih dahulu.
"Ini gila! Kami tidak tahu siapa mereka. Kami tidak tahu latar belakang mereka. Mereka ingin menikah dan menikah," katanya.
"ISIS cuma pengen tiga hal: wanita, kekuasaan, dan uang," kata Nur dan sepupunya, Rachmani, serentak.
"Mereka bertingkah seperti Tuhan," Nur menambahkan. "Mereka membuat hukum sendiri... Mereka sangat jauh dari Islam. "
Di sebuah pusat keamanan yang dikelola pasukan Kurdi di Kobani, utara Raqqa, sepupu Nur yang berusia 18 tahun mengaku bahwa tinggal di bawah ekstremis seperti hidup dalam "penjara".
"Kami (tidak) ingin pergi ke Suriah untuk perang," kata pria itu yang tak mau disebut namanya karena alasan keamanan. "Kami hanya ingin hidup di negara Islam. Tapi ini sungguh bukan negara Islam. Ini ketidakadilan, Muslim memerangi sesama Muslim." (Red: Mahbib/NU Online)
0 Response to "Kisah Pilu 20 Anggota Keluarga asal Indonesia Gabung ISIS dan Tertipu Khilafah di Suriah"
Posting Komentar